04 Februari, 2010

HIDUP ITU BERUNTUNG

Cerita ini di mulai ketika aku tak mampu lagi berpikir kearah mana kehidupan akan mengarah, semua menjadi salah, tak memiliki energy, kehilangan kendali. Aku tidak menyakini bahwa ini hadir dan menjadi takdir.
“Santi adalah nama yang memberikan keberuntungan, tinggal kamu sendiri memaknai setiap gejala alam yang kamu alami menjadi sebuah pedoma mengambil keputusan dan yakinlah itu keberuntunganmu”. Itu adalah sebuah ramalan yang aku terima ketika nenek tua yang tinggal dipigir kampung tempat aku dilahirkan.
Mulai aku membawa hidupku pada sebuah pertarungan untuk selalu menyakini setiap keberuntunganku. Semua menjadi nyata ketika itu telah membawaku pada titik yang sesuai dengan apa yang aku inginkan. Lalu apa yang membuatku resah, itulah kebenaran tak mampuku jawab.
“Ayo lah Santi, aku yakin kamu akan mampu memdapatkan perhatian pak Bono. Kalau kamu berhasil, maka karirmu akan meroket dengan tajam”.
“Aku rasa ini tidak akan berhasil, pak Bono tidak perna memberikan peluang pada karya yang idenya tidak sesuai dengan pemikiran dasarnya, dan aku berbeda dengannya”. Desakan Mita untuk ikut bagian pada proyek kreatif pak Bono selalu mewarnai hariku, hampir tak perna lelah dia membujukku.
“Kamu adalah orang yang berbakat, dengan mengambil peluang ini aku yakin kamu akan mendapat posisi yang bagus di kantor ini”.
“Kali ini aku tidak menemukan tanda-tanda bahwa aku akan berhasil”.
“Santi mulailah bangun dan yakin bahwa keberhasilanmu selama ini bukan karna keberuntunganmu tapi kamu sangat berbakat di bidang ini”.
“Sudah Mit, aku nda akan ikut seleksi proyek ini”.
Setelah apa yang Mita katakan membuat aku terusik, memikirkan bahwa selama ini kehidupan telah ku arahkan untuk selalu tergantung tanda-tanda yang ku anggap akan membawa pada sebuah keberuntungan.
“Gejala alam tidak selamanya mampu kita baca, terkadang kejeliannya menyembunyikan kenyataan membuat kita ragu, sehingga pada waktu terjepit harus mengambil keputusan yang salah”.
“Apa maksud kamu Mit”. Perjalanan pulang itu menjadi sangat hening, hanya beberapa kata yang membuat kami kembali cair. Terkadang untuk menutupi kebekuan itu Mita melajukan mobil dengan kencang.
“Kita berteman sudah lama, aku tahu kamu selalu tergantung pada firasatmu”. Aku tersentak dan kaget.
“Ayolah San, bangun dan sadarlah bahwa selama ini kamu berbakat bukan karna sebuah keberuntungan”. Aku hanya dapat menatapnya sekilas, aku merasa sebuah rahasia ku telah terbongkar oleh Mita.
“Tidak selamanya kamu mampu tergantung pada firasat dan membiarkan peluang untuk mengapai keberhasilan dengan bakatmu lewat begitu saja”. Aku masih terpaku hingga tak mampu menjawab atas semua pernyataan Mita.
Aku membawa jauh diriku pada sebuah rentetan cerita masa lalu, semua sekan kembali. Sehingga apa yang Mita katakan tak perna mampu aku tanggapi, melihat apa yang aku lakukan membuat Mita dia. Kebekuan itu terjadi hingga kami sampai kerumah.
Kegelisahan itu membuat aku kembali berpikir, selama ini aku tak perna yakin akan kemampuanku sendiri. Apa yang aku lakukan dalam pekerjaan adalah hanya menuruti kemauan orang dan menyakini bahwa apa yang telah ku lakukan dan dapatkan karna aku orang yang selalu beruntung.
“Aku Mita, baru dipindahkan ke departemen ini”.
“Santi”. Awal perkenalan yang berujung pada sebuah pertemanan yang sangat akrab, kami seakan dipertemukan oleh takdir sehingga mampu menyusuaikan diri dengan cepat.
Semua hal kami lakukan bersama, kami berada di satu team. Kebersamaan kami tidak hanya dilakukan di kantor saja. Kami bahkan memilih hidup dalam satu tempat tinggal, membiarkan seluruh kehidupan kami terbongkar dengan pelan dan pasti bahwa akhirnya kami saling tahu semua kehidupan satu sama lain.
Kehidupan percintaanku pun tak perna lewat oleh Mita, segala pertimbangan dalam mengambil keputusan selalu dia berperan besar. Bahkan ketikan harus menolak lamaran Bambang, hubungan kami baik-baik saja. Hingga akhirnya Bambang mengutarakan ingin melamarku.
“Mit, hari ini aku senang sekali”.
“Kamu dapat kuis berhadia ratusan juta ya?”.
“Jaminan seumur hidup”.
“Waoooooooooo, kuis apatuh yang dapat sebanyak itu”.
“Bambang melamarku”. Tiba-tiba raut wajah Mita berubah, kegembiran itu hilang berganti menjadi sebuah kegelisahan yang sangat tajam. Isyarat matanya menunjukan rasa sakit yang sangat tajam, rasa itu mampu membuatku iba hingga tak mampu berkata apa-apa.
Harapan untuk mendapatkan energy bahagia dari seorang sahabat telah lenyap, aku malah merasakan sebuah kesedihan, amarah, dan berjuta perasaan lain yang tak memberikan terjemahan dalam kata.
Sejak saat itu Mita menunjukan kebekuan yang tak mampu di cairkan oleh berbagai macam lelucun yang coba aku lakukan. Rasa penasaran itu semakin mendalam dan membesar hingga aku tak mampu lagi membendungnya dengan membiarkan Mita terdiam.
“Apa arti semua sikapmu Mit?. Apa ini berhubungan dengan lamaran Bambang”. Pada awalnya dia terus menghindar, namun desakanku membuat dia terpojok.
“Bambang tak cukup baik untuk kamu”. Petir terasa menyambar, membuat getaran jantung berpacu dengan cepat. Aliran darahku seakan terus mengali dengan buru-buru keotak, sesampainya disana membuat gejala yang menyesakkan.
Percakapan itu terhenti sejenak ketika Olivia datang membawa setumpuk pekerjaan yang harus di selesaikan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.
“Ibu Claudia membutuhkannya untuk rapat nanti sore”. Olivia seakan tak perduli dengan expresi wajah kami yang penuh dengan ketegangan.
“Oh ya, kalian ikut dalam rapat nanti”. Kami bagai robot, dengan cepat tumpukan kerjaan itu mulai kami kerjakan setelah diperintahkan.
Kami mulai dengan kesibukan masing-masing, perasaan kalut masih menghantui hatiku. Namun apa yang bisa dilakukan, masa depan karirku tak mungkin aku biarkan hancur karna kekalutan hati, pekerjaan adalah hal utama yang harus di beri ruang yang besar dalam kehidupan.
Setelah rapat selesai sederet jadwal pekerja mulai tersusun, proyek ini telah membawa aku terus melewatkan setiap harinya dengan konsentrasi penuh pada pekerjaan. Tidak hanya aku yang larut dengan pekerjaan, Mitapun demikian. Walau kami satu rumah, kelelahan telah membawa kami pada situasi yang sangat renggang.
“Saya senang dengan hasil kerja kalian, dalam sebulan ini kali telah bekerja keras. Lihatlah hasilnya kita mampu memberi kepuasan pada klain”. Pujian yang diberikan ibu Claudia telah mengakhiri kelelahan sementara dari pekerjaan.
“Kita akan rayakan dengan pesta kecil dicafe biasanya”. Raut wajah bahagia merona diwajah kami, kelelahan seolah sedikit terobati dengan perayaan manis yang telah menunggu.
Ketika kami sampai dicape kami asik dengan cerita dan lelucun ringan yang membawa kami melupakan sementara rutinitas yang selalu menemani setiap harinya. Canda tawa terus mewarnai malam yang ditemani dengan minuman yang membawa kami terbang masuk kealam kebahagia semu yang orang sering bilang mabuk alcohol.
“Hasilnya luar biasa Santi, design kamu sangat membantu dalam warna kreatif dalam proyek kita ini”. Pujian itu datang begitu saja dari ibu Claudia. Namun apa yang mampu dicerna dengan makna yang dalam ketika kita keadaan mabuk.
“Betul sekali, dengan design itu membuat pekerjaanku jadi lebih mudah”. Nana pun ikut memberikan sebuah angin surga yang sangat mampu membuat bangga di tengah orang yang tak perna terlalu peduli dengan bakatnya, yang mereka tahu bahwa kerja adalah kerja.
Ketika pesta telah selesai yang tersisa adalah rasa sepi, berpisah dengan orang-orang yang telah memberikan nuasa bahagia. Besoknya kami kembali pada rutinitas memberikan nuasa pada setiap tumpukan kerta diatas meja masing-masing.
“Santi sudah sebulan lebih kamu mengantungkan lamaranku”. Kembali Bambang mendesak agar memberikan jawaban atas lamarannya, kesibukanku mampu membuat Bambang mengerti dan mau menunggu hingga proyek yang melelahkan itu selesai.
“Aku tahu proyekmu telah selesai, setidaknya ada waktu untukku memperoleh jawaban kamu”. Makan malam menjadi hambar ketika aku masih tak mampu menjawab pertanyaan Bambang, aku teringat sikap Mita terhadap kabar lamaran ini.
“San, aku perlu jawabanmu. Kita sudah hampir setahun pacaran, dan aku kira perjalanan cinta kita harus diberi ruang kejenjang pernikahan”. Melihat sikapku yang selalu diam, membuat Bambang kesal dan mengakhiri makan malam itu dengan emosi pergi meninggalkannya aku yang masih terdiam.
Pada saat aku sadar akupun pulang, entah apa yang membuatku ragu untuk menjawab ya terhadap lamaran itu. Perasaan kalutlah yang membuat mulutku bungkam seribuh basah, terasa sagat berat untuk membuka mulut dan mengatakan sesuatu pada malam itu. Hingga akhirnya aku memilih pulang masih dalam keadaan kalut.
“Aku minta jawaban kamu terhadap sikap dinginmu selama ini. Kenapa dengan Bambang, hubungan kami baik-baik saja selama ini. Kamu tak perna keberatan atas hubungan ini”. Emosi itu tiba-tiba membakar seluruh rasaku, hadir ketika aku melihat Mita yang duduk didepan televise sesampai dirumah.
“Apa yang tak cukup baik dari Bambang sehingga aku harus menolak lamarannya, apa yang aku tidak tahu mengenai dia?”. Mita bangun dari tempat duduknya, ada sebuah emosi yang sangat kuat datang dari arahnya.
“Menikah bukan sebuah keputusan yang tepat untuk kamu sekarang, bakatmu akan mampu membawamu pada sebuah kesuksesan. Aku tidak mau itu semua hancur karna kamu menikah”.
“Kamu salah menilai aku, aku tidak memiliki kemampu yang sebesar itu. Selama ini aku hanya mengandalkan kemampuan pas-pas dan mendapatkan keberuntungan sehingga mereka masih mempekerjakan aku”.
“Aku tahu Bambang orang yang tidak terlalu suka istri yang penuh ambisi dengan karir, tapi aku senang karna aku bekerja selama ini untuk mempertahankan hidup”.
“Kamu hanya takut, kamu pengecut”. Akhir dari perdebatan itu, Mita meninggalkan aku. Pintu kamarnya dibanting dan terdengar suara kunci yang dipaksakan bekerja dengan kasar.
Hubungan kami kembali berlanjut beku, membiarkan waktu lewat tanpa saling bertegur sapa. Sepanjang hari kami membiarkan lewat dengan pekerjaan masing. Tidak ada lagi saling menebar senyum, saling mengejek dan segalam macam aktivitas yang membuat kami mampu melewatkan waktu setidaknya terasa lebih cepat ketika bekerja di kantor.
Hubungan aku dengan Bambang kembali membaik, aku sendiri minta maaf atas apa yang aku lakukan pada waktu makan malam itu. Permintaan maaf itu mendapat respon positif sehingga membuat kami menjadwal ulang makan malam.
"Nda ada alasan untuk aku menolak lamaran kamu”. Ada sebuah senyum yang sangat manis menyambut perkataanku itu, dan senyum itu terasa mampu menghapus rasa kalutku atas apa yang dilakukan Mita selama ini.
Aku membiarkan diriku larut dengan perasaan yang bahagia, aku ingin Mita melihat bahwa dengan aku menerima lamaran Bambang aku masih bisa berkarir dengan baik. Karna selama ini Bambang nda perna mengungkapkan akan melarang aku kerja ketika sudah menikah.
Sekali lagi aku dapat membuktikan, bahwa aku sebenarnya ditakdirkan dengan kemampuan dan paras yang biasa saja namun memiliki keberuntungan, apa yang dikatakan oleh nenek itu adalah sebuah kebenaran yang telah membuat aku selalu memperlakukan hidupku dengan sikap yang biasa sehingga tidak perlu memilih sesuatu yang beresiko tinggi.
“Apa kamu yakin Bambang membiarkan kamu kerja setelah menikah”. Mita tiba-tiba berada di depan pintu kamar aku dengan sebuah pertanyaan.
“Bambang tak perna melarang aku kerja selama ini, dan dia tak perna mengatakan akan melarang aku kerja ketika akan menikah”.
“Kamu harus bertanya sekarang untuk memastikan bahwa itu adalah kebenaran”.
Ketika aku ingin memberikan penjelasan bahwa keputusan ini sudah benar dengan logika pemikiran yang matang, dia pergi tanpa mengatakan apapun. Sikapnya itu kembali membuat aku ingin membuktikan bahwa selama ini dia salah tentang sebuah pernikan, tentang bakat aku dan lainnya.
“Bagaimana menurutmu kalau wanita sesudah menikah, tapi tetap kerja”. Aku terus terusik oleh pernyataan Mita, sehingga di sela-sela kami membicarakan pernikahan. Aku membiarkan rasa penasaran itu terjawab dari mulun Bambang dengan langsung sehingga aku bisa mengatakannya pada Mita.
“Sayang, untuk apa kamu kerja. Ada aku yang akan memenuhi seluruh kebutuhan hidupmu”. Aku tersentak dan kaget.
“Tapi selama ini kamu tak perna keberatan aku bekerja”.
“Sekarang aku tidak keberatan dong sayang, nanti setelah kita menikah baru aku minta kamu berhenti dari kerjaan mu”.
“Kenapa harus setelah menikah baru kamu mengatakannya”.
“Karna sekarang belum perlu kita bahas tentang itu, kita selalu sibuk. Bahkan untuk bertemupun sangat susah, aku tidak ingin menikah yang hanya bertemu diatas tempat tidur saja”.
“Aku ingin istri yang selalu menunggu kepulanganku, melayani setiap kebutuhanku dirumah”. Hubungan selama hampir setahun, tak membuat aku mengenal lebih jauh tentang Bambang. Kesibukan telah menjadi sebuah alasan sehingga kami jarang bertemu dan jarang komunikasi dengan intens.
Kami membangun hubungan dengan saling percaya dan dilandasi dengan keseriusan untuk mengejar masa depan. Keadaan itu telah menjadi sebuah hal biasa bisa dapat kami tolerir.
Setelah semua kekhawatiran Mita terungkap dengan jelas, aku terasa terhipnotis. Membiarkan dan melangkah tanpa sadar, segala menjadi sangat kalut. Bahkan aku merasa terbang dengan kebimbangan, apa yang dikatakan Bambang benar. Segala kebutuhanku akan selalu terpenuhi dengan jabatan yang dia miliki sekaran, masa depan tak diragukan lagi, lalu apa yang aku inginkan.
Bekerjaan selama ini adalah sebuah perbudakan bagiku, lalu kenapa aku membiarkan Mita merasuki pemikiran yang lain dari apa yang aku rasakan. Walau terasa sangat menyenangkan setiap goresan pikiran aku torekkan menjadi sebuah karya, tetap saja setelah itu aku kecewa karna aku dilupakan.
Atas semua itu aku merasa tak perlu diprotes, aku terlahir dengan takdir selalu mendapatkan keberuntungan lalu kenapa aku harus dengan susah payah meraihnya, aku akan menunggu dan terus menunggu hingga suatu saat nanti aku mendapatkan sebuah keberuntunga yang membuat orang tidak melupakan aku.
Lalu kenapa aku ragu dan memikirkan kembali ketika aku yakin telah datang keberuntungan itu, didatang melalui Bambang yang akan memjadi suamiku. Tapi mata Mita memberi sebuah isyarat yang membawa aku harus terus berpikir dan terus melihat lalu mencoba membaca sebuah tanda yang selama ini aku yakin sebagai sebuah tolak ukur untuk mendapatkan keputusan terbaik.
“Bams, maafkan aku. Aku bukan wanita yang hanya mengingikan kenyamanan dengan mendapat fasilitas yang lengkap dari suami. Ada yang harus aku raih dalam karir aku, walau hal itu belum mampu aku yakini. Namun aku merasakan sebuah energy yang besar yang membawa aku kearah itu”. Sikapku untuk menolak mundur dari pekerjaan setelah menikah membuat Bambang mengatakan bahwa hubungan kami harus dipikirkan kembali.
Satu hal yang dapat aku pelajari dari semua ini, dibalik segala perhatian dan perasaan cinta Bambang ada sebuah sikap yang terlalu dalam untuk dimengerti. Bagaimana sikap egoisnya tak terbaca dengan jelas selama ini, keinginannya tak mampu ditolak adalah sebuah hal yang terlupakan.
Aku membiarkan itu semua tumbuh dengan subur, langkah aman itu menjadikan Bambang sangat arogan dalam memutuskan setiap langkah yang harus aku ambil. Aku terpuruk dalam pikirannku sendiri, membiarkan semuanya menjadi tak menentu.
Kejadian itu menjadikan aku sangat tergantung dengan pertimbang Mita, namun tak semua hal aku biarkan menjadi berubah. Untuk hal karir aku tetap terpaku pada soal keberuntungan yang aku percayai, aku tak perna yakin bahwa aku memiliki bakat untuk aku andalkan.
“Ayolah San, percaya aku sekali ini saja. Kalau apa yang aku katakana sekarang salah, agap saja kamu tak memiliki sahabat seperti aku”. Itulah puncak kemarahan Mita yang membuat aku kembali dari perjalan masa laluku yang panjang.
“Apa yang terjadi bila aku melanggar setiap keyakinan hatiku, rasa percayaku pada sebuah tanda dan firasat yang selalu aku jalankan selama ini”.
“Kenapa kamu tak memulai semua ini dengan sebuah tekat yang bulat, bahwa aku harus keluar dari pola hidup yang terkonsep pada pola aman”. Mita terus mengalirkan sederet semagat yang membuat aliran energy untuk menyakini ini adalah sebuah kebenaran.
Ditengah semua itu, entah mengapa tubuh dan pikiranku melakukan sebuah potongan-potongan pola yang menjadi dasar design untuk mengikuti kopetisi untuk ikut proyek pak Bono. Alam bawah sadarku menjadi sangat kreatif, dan ketika semua menjadi sangat asik dan menyenangkan aku baru menyadari bahwa alam sadarkupun menjadi sangat menikmati semua proses yang aku lakukan.
Setiap harinya aku akhirnya selalu menyempatkan diri disela-sela kesibukanku di kantor untuk membuat dan mengembangkan design itu. Semuanya terasa ringat tidak adalah lagi sebuah beban, aku terasa terbang, setiap rangkaian memberikan energy positif untuk aku terus berproses.
Aku tak lagi mendengar teriakan Mita, setaip aku melihatnya, wajahnya memancarkan sebuah kecerian. Apa yang aku lakukan tak perna dipertanyakan, seolah kami beku dalam sebuah hubungan yang tak dapat dicairkan dengan kata-kata, namun mampu dicairkan dengan isyarat kesetiaan.
Sikap tenang yang terjadi membawa aku terus melangkah dengan tenang, membiarkan darahku mengalir dengan halus menujuk otak. Kehalusan yang membuat otakku bekerja dengan sangat cemerlang, menghasilkan ide-ide yang membuat aku semakin berkembang. Akhir dari segala prose situ adalah keberanian untuk mengikuti saran Mita dan menunggu hasil.
“Kamu berhasil Santi, design kamu dipilih ama pak Bono”. Setelah seminggu aku menyerahkan karya itu, entah bagaimana Mita mendapatkan hasil begitu cepat. Pagi menjelang siang, disela-sela keasikanku membereskan setumpuk pekerjaan. Mita memberikan kabar yang aku pikir tidak mungkin aku terjadi.
“Kamu pasti bercanda”.
“Ibu Olivia menyuruhmu mempersiapkan presentasi, karna pak Bono memintamu menemui klain besok”. Kami berpelukan tanpa sadar, semua terasa sangat menyenangkan. Semua aku lewatkan dengan pertama kalinya membiarkan ide-ideku diakui oleh orang yang sangat penting di perusahaan ini, aku merasa terlahir dengan kepercayaan diri untuk mengembangkan diri, membiarkan setiap bakat yang aku miliki menjadi sebuah karya terbaik dan membiarkan diriku percaya bahwa aku mampu bukan karna takdir aku yang selalu beruntung.
Ketika aku tahu bahwa ada sebuah kemampuan yang sangat besar dalam diri, aku yakin akan menjadi sangat luar biasa bila dipadukan dengan percaya bahwa takdir itu sebagai penguat dalam setiap karya yang tercipta.
Berakhir atau awal cerita ini, aku seorang Santi harus mengakui bahwa keberuntungan terbesar dari hidupku adalah hadirnya seorang sahabat seperti Mita. Dengan perjuangan tak perna menyerah menyadarkan aku untuk menghargai diri sendiri, setiap orang memiliki kemampuan yang tidur dan menunggu untuk dikembangkan dengan sadar. Biarkan takdir datang dengan beriringan dengan kesadaran akan kemampuan kita.
“Makasih Mit”. Kami pun terlena dengan perayaan sederhana, membiarkan semua kebekuan yang terjadi selama ini mencair dan mengalir dengan saling mendukung serta mengingatkan……………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar