08 Februari, 2010

KETIKA AMBISI ITU HILANG

Kehidupan ini jauh dari harapan yang salama ini dibayangkannya, kerja keras dan pengorbanan yang dilakukan selama ini menjadi tak berharga lagi. Semua telah dia korbankan untuk meraih sukses dalam karirnya.
“Kamu di pecat”. Suara itu selalu terbesik diingatannya, bagai sebuah kilat yang menyambar dikala siang hari. Kesalahan yang tak dapat dimaafkan, adalah alasan yang kuat sehingga dia harus menerima keputusan pemecatan ini.
Kemalangan dari sebuah takdir, entah bagaimana peristiwa itu terjadi. Kehadirannya seolah menjadi sebuah akhir yang tak dapat dihindari, keputusannya untuk mengambil uang di ATM pada malam hari tanpa pengawalan, adalah sebuah keputusan yang mengakibatkan dia terhipnotis sehingga uang perusahaan yang akan digunakan untuk mengaji karyawan hilang tak berbekas.
“Malinggggggggggggggggg”. Ketika dia sadar, hanya kata maling yang terbesik. Teriakan demi teriakan mewarnai setiap pertanyaan yang datang padanya, tubuhnya lunglai tak berdaya.
“Kemana malingnya bu”. Terkadang dia dapat mendengar sebagian dari pertanyaan orang-orang yang datang setelah dia berteriak maling. Namun sekian banyak pertanyaan yang datang itu tidak mampu dia jawab.
Sejauh dan sebanyak apapun orang mengejar maling itu, hasilnya adalah sebuah kekecewaan. Tanpa disadari dia terhipnotis cukup lama, sehingga apa yang dilakukan oleh orang-orang itu hanya sebuah pekerjaan yang sia-sia.
Entah kekuatan dari mana yang datang sehingga akhirnya dia berhasil berada dirumah, wajahnya yang pucat pasing membuah keluarganya kebingungan. Kembali dia harus menerima serbuan pertanyaan, dari pertanyaan-pertanyaan yang datang kadang terdengar olehnya, namun entah kenapa dia tak sedikitpun mampu mengeluarkan suara untuk menjawabnya.
“Biarkan Mira istirahat bu, mungkin dikantornya banyak pekerjaan sehingga dia sangat kelelahan”. Pernyataan bapaknya itu yang meloloskan dirinya dari serbuan pertanyaan, sehingga dia dapat merebahkan tubuhnya di kamar.
Dibalik dinding kamar Mira, terbesik keheranan dari keluargannya. Bergantian ayah dan ibunya bertanya dan memcoba menebak apa yang terjadi pada Mira. Namun mereka hanya dapat mengira-gira dengan keadaan itu.
“Mungkin Mira sedang putus dengan pacarnya kali bu, makanya dia hanya diam”.
“Selama ini, ibu tidak perna mendengar Mira pacaran pak. Mira hanya perduli pada karirnya”. Kembali mereka berfikir dan mengira apa yang sedang Mira rasakan. Mereka tidak mau menganggu Mira yang sedang istirahat, apalagi melihat kodisinya yang sangat lemas.
Sepanjang malam dia lewati dengan banyak pergulatan, berbagai macam dia coba pikirkan untuk menyelesaikan persoalannya. Disela himpitan dan pergulatan perasaannya dia sadar harus memikirkan jalan keluar yang tepat untuk menyelesaikan semua ini.
Tak puas bepikir dengan berbaring, dia bangun dan berjalan mondar-mandir, berputar, duduk, lalu berbaring lagi. Tak satupun jawaban yang dia peroleh, keadaan diperburuk lagi dengan munculnya rasa sakit yang luar biasa dari kepalanya, membuat perasaannya semakin kacau hingga yang tersisa tetesan demi tetesan air mata yang membanjiri wajahnya.
“Tuhan aku datang dengan luka yang sangat dalam, selama aku sehat aku tak perna datang untuk bersyukur atas nikmat-Mu”. Sepanjang malam berbagai macam doa diucapkan hingga dia terlelap dalam tidurnya.
Ketika matahari mulai muncul dia terbangun, entah mengapa hari itu begitu ringan untuk bangun dan menjalankan sholat subuh, biasannya dia bangun lansung mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kekantor.
“Ya….Allah, apa yang sedang aku rasakan ini adalah sebuah cerita yang menjadi bagian hidup yang harus aku terima, aku tidak menyesali datangnya. Semua telah aku lakukan untuk mengapai posisi manager keuangan dalam karirku sehingga aku lupa akan takdir dan kendak-MU”. Panjang dia ucapkan doa, hingga diapun tak sadar hari sudah mulai pagi dan orang sudah bersiap-siap menjalankan harinya.
Pada saat terbangun dari duduknya itu, entah datang dari mana kekuatan untuk menyakini bahwa dia harus datang kekantonya dan mengungkapkan apa yang telah terjadi padanya. Langkahnya ringga tanpa beban, pikirannya menjadi segar, penuh dengan persangkaan yang positif. Bahkan dia mampu menghadapi orang tuanya yang mengisaratkan tanda tanya diwajahnya dengan sebuah senyum yang mampu member isarat bahwa dia baik-baik saja.
Setelah semua hal telah dia hadapi, berbagai proses telah dilakukan. Keputusan akhir dari perusahaannya adalah apa yang sekarang dia rasakan. Hidupnya berada pada titik nol kembali, semua harapan masa depan yang dikhayalkan dengan bekerja diperusahaan ini telah lenyap, hilang tak berbekas.
“Ibu senang sekali melihatmu dirumah, ibu merasa kamu terlahir kembali”. Senyum ibunya seakan menyadarkan bahwa dia berada dirumah bukan disebuah kantor yang dipenuhi tumpukan kerjaan yang harus dia selesaikan.
“Selama ini, kamu begitu sibuk sehingga jarang dirumah. Ibu hanya melihatmu pagi hari pada saat kamu berangkat kekantor”. Pernyataan ibunya membawa dia pada masa lalu, setiap harinya selalu dia lewatkan untuk kerjaan dan menghibur diri dengan teman-temannya.
Hari liburnya dia gunakan untuk istirahat total, dia tidur sampai siang lalu sorenya dia pergi ke mall untuk mempersiapkan kebutuhannya selama seminggu. Hampir setiap hari dia tak perna mengajak orang tuanya hadir dalam kehidupan, padahal setiap harinya mereka hidup bersama.
Apa yang terjadi sekarang seakan membawanya pada sebuah titik yang tak perna dia bayangkan, berada dirumah sepanjang hari, membiarkan waktu berlalu tanpa berbuat apa-apa. Hidup yang tak lagi dipenuhi ambisi.
“Apa rencana mu Mir?”.
“Mira belum bisa memikirkan apa-apa bu, tenaga Mira seakan sudah habis”.
“Ibu akan selalu mendukung apapun keputusanmu. Harapan ibu, kamu mulailah membuka kembali lembaran baru hidupmu, jangan sampai terpuruk dan kehilangan gairah untuk kembali”.
“Apa ibu nda malu sama tetangga, lihat Mira nda kerja lagi”.
“Kenapa harus mendengarkan orang lain, hidup yang kita jalankan akan lebih baik jika kita tata dengan pemikiran dan remcana yang baik dari diri kita sendiri”. Panjang lebar ibu memberikan nasehat atau pengarahan atau apapun namanya, dia dengarkan dengan penuh perhatian. Lama sudah dia kehilangan momen ini, hidupnya telah dia arahkan untuk jauh dari keluargannya.
Hidup dengan pemikirannya sendiri, itu adalah sebuah pilihan yang telah dia ambil sejak mulai tumbuh remaja. Masa SMA yang penuh dengan gejolak membuat dia mulai berpikir dan memilih sendiri untuk hidupnya, sedikit demi sedikit dia mulai membangun benteng sendiri dalam dirinya untuk menghalau setiap pemikiran dan nasehat orang tuanya.
Waktu terus berlalu, dia mulai jauh meninggalkan kehidupan normalnya untuk bergantung pada orang tua, memilih bekerja setelah lulus SMA sambil kuliah. Sejak saat itulah tumbuh ambisi-ambisi untuk memdapatkan kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan kepuasan.
Sehingga tolak ukur dari kebahagian yang dia bangun adalah melewati hari dengan menikmati waktu dengan datang ketempat-tempat yang memberikan kesenangan sesaat, tempat yang dia lalui dengan teman-teman untuk menghilangkan kejenuhan dan rasa tertekan dalam menghadapi hidup. Tolak ukur dari kepuasan adalah bagaimana dia mampu meraih sukses dalam karirnya.
“Hebat kamu Mir, kamu akhirnya menjadi seorang manager”. Pujian yang datang dari Olivia seolah menjadi sebuah penghargaan yang memberikan kepuasan tersendiri. Dia mampu mencapai posisi yang lebih baik dari teman-temannya. Pujianpun datang bergantian dari teman-temannya, kemeriahan malam perayaan kenaikan jabatannya itu menjadi sempurna.
“Aku yakin sastri juga bisa mendapatkannya. Cukup mencolek pak Bimbing, besok langsung keluar surat kenaikan pangkat mu”. Lelucun itu ikut memeriahkan suasana yang tak mampu dihindari, kegaduhan akibat terikan yang silih berganti datang tak lebas dari pengaruh dari tegukan-tegukan minuman yang membuat mereka mabuk.
“Kalau gitu aku aja deh yang colek pak Bimbing, kalau perlu dia boleh deh nginap di kos aku”. Pernyataan Nita disambut dengan sorakan dan ketawa dari mereka. Malam terus berlalu hingga larut.
Bayangan masa lalu itu datang kembali pada kehidupannya, sekarang dia melewati harinya dengan penuh kepasrahan. Dia tidak mampu lagi bangkit untuk mempercayai bahwa dia akan mampu mendapatkan pekerjaan lagi, kegelisahan itu datang seiring dengan kondisi ekonomi negeri semakin tak menentu.
Setiap harinya, dia selalu mandapat informasi di koran, bahwa banyak perusahaan yang melakukan PHK pada karyawannya karna krisis ekonomi. Walau pikiran positif telah coba dia bangun untuk memberi semangat agar dirinya bangkit lagi dan memulai untuk melamar pekerjaan, tetap saja ada sisi lain yang membuat dia kembali tidak yakin akan apa yang dia ingin lakukan.
“Tante Miraaaaaa, Nisa juara satu loh disekolah”. Bidadari itu seolah memberikan senyum yang sangat manis, senyum yang tak perna dia lihat atau dia lewatkan selama ini. Kehadiran Nisa memnyadarkan dia, bahwa selama ini telalu jauh keluar dari kehidupan keluarganya.
Harinya seakan tak habis oleh urusannya sendiri, terkadang untuk menghidar dari keluarganya dia memilih untuk kos. Semua dia lakukan untuk memenuhi ambisi dan pola pikir yang mengangap bahwa sebuah kesuksesan seorang wanita adalah bagaimana dia mampu mandiri dengan kekuatannya sendiri.
Sehingga untuk menghidar dari segala pemahaman yang tidak sejalan dari saudara-saudaranya dia memilih kos, untuk memuluskan rencana itu dia mampu membujuk orangtuanya dengan mengatakan banyak pekerjaan di kantor sangat banyak sehingga tiap hari harus pulang larut. Dengan alasan untuk menghidar dari ngunjingan tetangga yang tidak-tidak dia mampu mendapatkan ijin itu.
Namun sejauh apapun dia mencoba untuk menghindar dari keluarganya, terkadang dia kembali. Ada sebuah perasaan kosong yang dia rasakan, rasa takut, rasa sepi dan sejuta perasaan yang tak mampu inditifikasi yang membuatnya kembali kerumah. Kehidupannya terus berputar pada keadaan yang sama, tanpa perna mengambil jalan keluar yang benar untuk menghadapinya.
“Selama Nisa libur, kita semua mau nginap disini loh tante”.
“Oh ya, bagus dong, rumah jadi rame….”.
“Tante ikut libur ya, biar Nisa ada temannya. Soalnya papa ama mama tetap kerja”. Hanya senyum yang mampu dia lakukan untuk membalas pernyataan keponakannya. Dalam hatinya dia senang karna tak perlu menjelaskan mengapa setiap hari selalu berada dirumah.
Pancaran rasa senang yang ditankap dari rauk wajah dan tindakan ponakannya, seolah-olah senyumannya itu telah memberikan jawaban iya untuk pertanyaan ponakannya. Keceria yang hadir adalah sebuah hal baru yang dia rasakan, entah sudah berapa tahun dia seakan hilang dari keluargannya, sehingga dia tak sadar bahwa Nisa yang dulu kecil telah besar dan mampu memberikan nuasa baru dalam kehidupan.
“Dimas juga mau kesini loh tante”. Dimas nama itu hadir, namun tak disadari bahwa itu adalah keponakan dari kak Andi yang dua tahun lalu menikah. Semakin dalam dia mencoba membawa dirinya untuk kembali sadar bahwa dia telah begitu jauh pergi dan tak perduli dari kehidupan keluargannya.
“Dimas udah bisa jalan loh tante, tapi belum bisa ngomong. Gimana kalau selama Nisa libur kita ajarin”. Kembali dia hanya dapat tersenyum, entah apa yang telah membuat dia kehilangan kata-kata untuk menjawab setiap pertanyaan yang datang dari Nisa.
Hari bergulir dengan cepatnya, membuat dia sadar bahwa ketidak mampu untuk melewati hari dengan menjadi seorang ibu rumah tangga yang selalu berada dirumah dan melewati hari hanya untuk menunggu suami dan anak pulang adalah salah. Selama ini yang dia pikirkan bahwa setelah sukses menjadi wanita karir baru memikirkan untuk menikah, sehingga seluruh urusan rumah tangga tinggal serahkan pada pembantu.
Dengan karir yang sukses, suami nantinya tidak akan bertindak semaunya, karna merasa dialah yang mencari nafkah untuk kehidupan semua keluargannya. Dan beribu alasan lain yang dia ciptakan untuk menyakinikan dirinya bahwa dia tidak akan menikah diusia muda.
Perputaran waktu kembali terjadi sehingga dia tak sadar bahwa hampir sebulan dia lewatkan waktu dengan keluarganya. Ditengah perputaran itu, dia merasakan bahagia dengan segala kelucuan yang Nisa dan Dimas hadirkan. Perasaan itu berbeda dengan apa yang perna dia rasakan dengan teman-temannya.
Kebahagian yang tak harus dibayar dengan mentraktir orang, kebahagia yang hanya dirasakan dengan sadar, karna kebahagia dan tawa yang dia dan teman-teman lakukan hadir karna mereka mabuk. Sehingga besoknya ketika pekerjaan menumpuk diatas meja, kembali perasaan lelah dan letih hinggap, sehingga mengarah pada kebosanan akut akan keadaan.
Pada kenyataannya sebuah kebahagian itu hadir bukan dicari, tapi hadir dengan sebuah kebersamaan. Ketakutan yang berlebihan membawa pada pola pikir yang selalu mengbenarkan perilaku untuk menghidar dari keadaanya itu.
Segala kemesraan, tawa, percakapan akan membangun rasa saling sayang di tengah keluarga, perasaan itu tumbuh berkembang ditengah pergulatan diskusi panjang pada saat berkumpul. Pada saat itu hadir sebuah perasaan yang mendalam dalam batinnya, kemarahan yang dulu sering hadir ketika didesak untuk menikah, kini tidak lagi membara dalam pikiran dan hati. Segala sesuatu hal yang dibicarakan tentangnya selalu dia hadapi dengan tenang dan selalu tersenyum.
“Mir, kapan kamu akan menikah”. Untuk sekian kalinya dia kembali mendapatkan pertanyaan itu dari kakak iparnya, namun kembali dia memberikan alasan yang seadanya. Ditengah perubahan itu semua kembali dia memcoba memikirkan sebuah rongga kosong hatinya.
Hingga pada suatu hari dia merasa sangat sepi, kesepian yang tak dapat diobati dengan teriakan, canda tawa, tangisan Nisa dan Dimas. Semakin mereka membuat keributan semakin terasa kosong, sepanjang hari dia mencoba berpikir apa yang kurang dari hidupnya.
Ambisinya terhadap kemapanan dengan kerja keras dan karir yang bagus, tak lagi memberikan energy dan sinyal yang kuat untuk meraihnya. Hatinya terasa hampa, ketakutan, kelelahan tanpa berbuat apa-apa.
Perubahan lain yang sangat mengejutkan bagi orangtuanya, dia kembali menata hidupnya pada sebuah tatanan keagamanya benar. Setiap harinya tak satu waktu sholatpun dia lewatkan, ditambah dengan puasa senin kamis selalu dijalankan. Sehingga kedewasaan bertindak dan berpikir mulai mengarah pada pola yang sama dengan orang tuanya.
Hingga pada suatu malam ketika dia berbaring setelah melakukan sholat isyah, hatinya tiba-tiba memberikan sebuah isyarat kematapan untuk melakukan sebuah kenyataan yang selama ini dia hindari. Menikah adalah sebuah kenyataan yang harus dijalan oleh perempuan.
Bahwa kehidupan seorang perempuan tidak harus mengejar materi untuk mendapatkan sebuah kepuasan dalam hidup, itu adalah sebuah kebenaran yang patut dipercaya, karna pada dasarnya perempuan memiliki naluri kasih sayang yang kuat terhadap seorang anak. Sehingga naluri itu harus diberi wadah agar tidak terjadi penyimpangan dalam hidupnya.
Seiring dengan berlalu dan bergantinya hari, dia terus memperbesar keyakinannya itu. Keyakinan itu telah membuatnya mampu berbuat sebuah tindakan, kembali dia melihat data-data teman-teman lama yang mungkin memberikan sebuah titik yang akan melahirkan sebuah tanda bahwa dia telah ditentukan sebagai pasangan hidupnya.
“Lit, aku mau nikah”.
“Nikah? Dengan siapa”.
“Belum tahu ama siapa, sekarang aja masih nyari”.
“Hahahahaha”. Dia tak perna merasa semantap ini untuk berniat menikah, bahkan diketawai oleh teman baiknya pun tak membuatnya malu dan gentar akan niatnya itu.
“Kayanya kamu stress akibat dipecat deh. Mau nikah tapi belum tahu siapa calonnya, kamu gila. Hahahaha”.
“Makanya kita bertemu disini, aku mau minta tolong sama kamu. Namanya juga usaha”.
Selang beberapa hari dari pertemuannya dengan Lita, dia mendapat kabar bahwa Lita akan memperkenalkan seseorang. Orang yang dimaksud Lita tidak lain adalah keluarganya sendiri, dengan keseriusannya itu dia mampu melakukan apapun untuk berusaha agar ada jalan untuk mewujudkan kemauannya itu.
“Hai, aku Bambang saudaranya Lita”. Setelah berkenalan lewat telepon akhirnya mereka janjian bertemu. Pertemuan itu memberikan harapan untuk dia, karna orang yang dikenalkan Lita tak jauh dari kriterian pria yang dia inginkan.
“Aku Mira”. Pada awalnya terasa sangat kaku, sudah lama dia tidak mengalami sebuah ritual pertemua yang dimanakan kencan. Selama ini waktunya selalu dihabiskan dengan tumpukan kerjaan dan have fan dengan teman-teman.
Perjalan singkat yang harus dilalui untuk menuju sebuah pernikahan tak mampu dimengerti oleh Bambang, baginya terlalu singkat dalam waktu tiga bulan berhubungan untuk menujuk pernikahan. Hingga perbauran cinta itu kandas, tekatnya yang bulat untuk menikah adalah sebuah keyakinan yang tak harus dipikirkan dengan logika.
Kemantapan itu tidak begitu saja muncul dengan sendirinya, perlu waktu dan rongga dalam diri hingga sampai pada keyakinan ini. Bukan sebuah nafsu yang dia rasakan tapi sebuah kemauan yang lahir dengan pedoman yang pasti yang telah didapat dengan mendekatkan diri padaTuhan.
Sebuah takdir yang tak dapat di sangka datangnya, hadir dengan kebenaran untuk dipikirkan, masuk melewati ruang-ruang dan batas-batas tak terhingga. Kedatangnya membuat orang tak lagi menggunakan akalnya untuk membenarkan dan menerimanya.
“Mir, masih ingat Sandi nda?”.
“Sandi?. kayanya ingat deh, diakan teman kerja kakak di perusahaan yang lama”.
“Ya. Dia melamarmu lewat kakak”.
Suasana terasa hening sejenak ketika pernyataan kak Andi muncul, dunia terasa berhenti berputar. Dia berada dibatas titik yang dalam, pikirannya mengarah pada sebuah wajah yang sering dia lihat, tapi tidak perna akrab. Perkenalannya berlalu begitu saja, tak memberikan bekas walau sudah dua tahun lebih dia mengenalnya.
“Hai, adiknya mas Andi ya?”.
“Ya”.
“Boleh minta tolong?, aku sedang buru-buru, pesawatku akan berangkat sebentar lagi sehingga aku nda bisa hadir diacara pernikahan mas Andi. Tolong berikan kado ini dan salam aku sama dia”.
Setelah seminggu acara itu berlalu dia kembali menemui orang yang telah memberinya kado, orang yang tanpa menyebutkan nama dan pergi begitu saja. Pada saat dia sedang jengkel, kelelahan tak dielakan, hal itu diperburuk ketika dia harus menghadapi orang yang dengan seenaknya menitipkan kado. Kejengkelan itu bertambah karna pada saat kado itu disampaikan ke kak Andi, dia harus menjelaskan fisik dari orang yang memberi kado tersebut hingga rasa penasaran kak Andi terjawab dengan menyebutkan bahwa orang itu bernama Sandi.
“Permisi, mas Andinya ada?”. Melihat wajah orang itu langsung ingatannya mengarah pada waktu pernikahan kak Andi. Tanpa mengatakan apa-apa, dia langsung memanggil kak Andi. Ketika dia melihat orang yang dipanggil muncul dia pergi begitu saja.
Tak ada yang berkesan dari pertemuan-pertemuan selanjutnya, perkenalan itu tak perna membawanya pada sebuah hubungan. Dia hanya menganggap Sandi adalah teman kakaknya yang terkadang ketemu dirumah dan berlalu begitu saja.
“Gimana Mir, Kakak harus jawab apa sama Sandi”.
“Biarkan Mira menjawab sendiri sama Sandi”. Kak Andi setuju dengan keinginannya, setelah itu nomor HP Sandipun dia peroleh. Kenyataan ini tidak begitu saja mulus berjalan, entah kenapa hatinya memberikan rasa yang mengarah pada sebuah pertanyaan kembali akan keinginannya untuk menikah dengan segera.
“Aku mengenalmu sudah lama, sehingga aku yakin dengan lamaranku”.
“Sandi, sejak kapan perasaan mu berubah terhadapku”.
“Aku melihatmu, lalu mengenalmu lewat Mas Andi. setiap aku datang kerumahmu, kamu selalu sibuk tak dan jarang dirumah, sekalinya kamu ada, kamu tak perna mau membuka diri terhadap aku”.
“Apa yang kamu harapkan dengan wanita seperti itu untuk mendampingimu”.
“Aku yakin kamu orangnya baik, itu semua bukan hanya pujian gombal untuk mendapatkan mu. Tapi sebuah pembuktian dari kehidupan keluargamu, dan akhir-akhir ini aku memperhatikan ada sebuah perubahan besar dari sikap kamu”.
“Perubahan dalam waktu singkat tidak akan menjamin orang itu akan memberikan hal positif selamanya”.
“Apapun itu, aku tetap yakin bahwa aku tidak salah untuk memilih kamu”.
Pertanyaan itu seolah sebuah kunci yang dia ciptakan untuk menyakini diri agar mampu membuka gerbang hatinya, membiarkan getaran cinta mulai tumbuh. Perjalan cinta ini dia coba biarkan, agar mampu membawa dia pada sebuah keputusan yang benar sehingga tidak disesali kemudia hari.
Setelah pertemua pertama itu memberi kesan yang baik, berlanjut pada sekian banyak waktu telah disisihkan untuk terus saling mengenal, membuka diri, membiarkan segala keraguan lenyap dengan saling mengenal lebih banyak.
Terkadang orang percaya bahwa cinta pada pandangan pertama ada, namun ada sebagian orang memandang bahwa cinta yang hadir pada cinta pertama itu, sebuah takdir yang diberi nama jodoh yang telah datang dari tuhan.
“Kak Lisa yakin Sandi itu jodohmu Mir, dia sering datang kerumah, gobrol banyak dengan Mas Andi. kakak melihat dia orangnya sangat baik dan sopan”. Dia menemukan orang yang percaya bahwa sebuah cinta yang datang pada waktu singkat adalah sebuah jodoh yang menjadi takdir, keyakinan kak Lisa di dukung oleh pernyataan ibunya yang ikut mendukung hubungan ini.
“Ibu menyerahkannya semua keputusan pada Mir. Sebagai orang tua ibu hanya bisa berharap kamu segera menikah, sehingga ibu bisa merasakan bahagia karna telah membawa dan mendidik kalia sampai pada sebuah kehidupan berkeluarga sendiri”. Masih panjang yang harus dia dengarkan, yang pada intinya mengarahkan dia untuk mengambil keputusan menikah secepatnya.
Orang tua akan merasa bahwa kehidupannya telah berhasil ketika semua anaknya memiliki keluarga, mereka mengatakan dengan menikahkan anak-anaknya kewajibannya sebagai orang tua telah selesai, bila akhirnya mereka dipanggil oleh tuhan, mereka akan sangat bangga untuk menghadap.
Pemikiran itu telah lama dia dengar, dalam keadaan yang labil yang masih dipenuh dengan ambisi untuk menjadi kuat dan mandiri, hal itu dianggap olehnya sebagai sikap yang egois dari orang tua. Sehingga desakan orang tua untuk menikah pada usai muda adalah sebuah sikap ingin cepat lepas tanggujawab orang tua terhadap anaknya.
Pada kenyataan perubahan yang dialaminya selama ini, telah memberikan pemahaman baru. Bahwa tidak semua orangtua akan bersikap demikian, mereka selalu memikirkan masa depan anaknya dengan kemampuan yang mereka miliki. Perbedaan pandangan hidup dan perbedaan ilmu serta informasi yang membawa batas pada kemesraan hubungan antara orangtua dengan anaknya.
Berbagai hal telah mewarnai kehidupannya akhir-akhir ini, warna yang hadir begitu banyak. Setiap harinya selalu memberi nuasa yang berbeda, pergolatan hati yang berakhir dengan sebuah keputusan besar untuk mau dan menerima semua kenyata dengan mencoba lebih membuka diri dengan pandanga dan pendapat orang lain, sehingga mampu menghasilkan keputusan yang benar, kebenaran itu selalu diperkuat dengan membawa diri untuk selalu mengkaji setiap masalah dengan mengembangkan logika berfikir yang lebih terbuka.
“Ya Sandi aku mau menikah dengan kamu”. Sandi memeluknya dengan raut wajah merona penuh bahagia, akhir dari pertemuan yang indah. Setelah mantap dengan keputusannya, dia membuat pertemuan dengan Sandi…………………………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar