08 Februari, 2010

TAKDIR SEBUAH KEBAIKAN

Kosong, putih, bersih dan bening semua melambangkan kesucian, langkah demi langkah mengembara mencari sebuah kedamaian. Tak perna ada sebuah kata yang mampu menghentikannya.
Bahkan sebuah tangisan datang dari ibunya pun tak mampu membuat dia berpaling, sebuah bayangan mendatanginya untuk mengatakan bahwa segala hal telah menjadi hancur, masa kelam telah menunggunya.
“Hanya kepergianmu yang akan mampu menyelamatkan dirimu”.
“Aku tidak akan lari, semua menjadi masalahku dan aku siap menghadapinya”.
Awal langkah itu tercipta datang dengan desakan yang sangat sering dari sebuah bayangan yang tak tahu muncul dan asalnya dari mana, semulanya dia tak perna mau percaya. Dia menganggap itu hanya sebuah mimpi yang bisa datang kepada siapa saja.
Lambat tapi pasti seolah semua menjadi pertanda akan keharusannya untuk pergi dari kehidupan yang selama ini dia jalankan. Rasa cinta yang berlebihan terhadap keluarganya tak mampu menjadi pertimbangannya untuk tetap berada diantara mereka.
“Don, ibu bangga mempunyai anak seperti kamu”.
“Masih banyak hal yang belum Doni lakukan untuk membuat ibu merasa bangga dengan melahirkan aku”.
“Seorang ibu akan selalu mendapatkan anaknya menjadi sebuah mutiara yang berharga ketika dia mampu membuat ibu dan bapaknya tersenyum walau tak berharta”.
Seluru kemampuan dia kerahkan untuk membuat usaha keluarganya maju dan berkembang, trobosan-trobosan baru di terapkan, setiap peluang diambil. Bakat dan insting yang kuat telah mampu membawa dia untuk selalu percaya bahwa segala kerja keras akan menghasil sebuah kesuksesan.
“Apapun langkahmu ibu selalu dukung, sejak kepergian ayahmu. Ibu melihat begitu banyak perubahan pada dirimu”.
“Doakan Doni bu agar tetap mampu melakukan yang terbaik”.
Sehebat apapun kilas balik hidupnya telah muncul kembali diingatannya, dia tetap memilih untuk meninggalkan semua yang telah dia bangun dengan kerja keras. Langkah ini seolah dapat menyelamatkan seluruh kehidupan dirinya sendri, serta keluargannya.
“Apa yang kamu cari nak, kamu datang ditempat yang salah bila menginginkan sebuah kesenangan sesaat. Keyakinan akan menjadi modal utama untuk kamu berada disini”.
“Saya datang untuk sebuah jawaban”.
“Kekurangan apa yang kau cari jika semua kebutuhan hidupmu telah tercukupi didunia”
Entah kenapa dia terdapar pada tempat yang sama sekali tidak perna dibayakan, disebuah pesantren yang jauh dari hirik pikut keramean kota. Dorongan dari kesunyian diri membuat dia merasa damai berada ditempat ini sehingga memutuskan tidak pergi ketika Ust Usman pemilik pondok pesantren menemukannya berada di pinggir gerbang masuk.
Ustad Usman menjelmah sebagai seorang yang mampu menghilangkan dahaga, telah jauh dan banyak tempat dia coba singgahi namun tempat ini memberikan sebuah getaran aneh yang mampu membuat dia tetap berdiri hingga pundaknya dirangkul sampai dia telah berada dihadapan ustad Usman.
Tak banyak kata yang mampu dia ucapkan untuk setiap pertanyaan Ust Usman, kebekuan yang amat dalam itu mendapat sebuah tangapan yang manis. Setelah keheningga itu terasa sangat membekukan suasana, dia diantar ketempat penginapan salah satu santrinya.
“Tenangkan dirimu dengan sholat, maka kamu akan menemukan apa yang dicari”. Perasaan tenang itu terus membukam mulutnya, dia menarik diri ketempat tidur, lalu tak perlu usaha banyak sehingga matanya terlelap.
“Bangun mas, kita sholat tahajjut”. rasa ngantuk masih melandanya, dia berharap dibiarkan tidur melanjutkan kenikmata tidur yang telah hilang beberapa bulan ini. Tak ada lagi mimpi buruk, malam terasa sangat cepat berlalu.
“Ya”. Sadar dia berada dimana, dengan berat dia melangkah mengikuti Hamid yang menjadi teman sekamarnya. Apa yang dikatakan temannya itu tidak semua dia perhatikan, dia hanya merasa bahwa harus mengikuti setiap langkahnya saja.
Semua dia ikuti, dari awal hingga akhir. Tak ada satu pertanyaan pun yang mampu dia ungkapkan, sikap itu menjadikan dia tenang, itulah yang membuatnya tak merasa perlu bertanya apa-apa.
“Kita ngajikan mas sambil menungguh subuh”.
“ohhhhhhh”. Tangannya mengaruk kepala, pada saat itu tidak sedikitpun terasa gatal. Secara reflex saja tangan itu melakukannya, entah apa yang harus dia katakana pada Hamid. Selama ini pendidikan agama hanya dia dapat disekolah, tidak sedikitpun orang tuanya mengarahkan hidup kearah sana, karna kehidupan remajanya yang salalu dipenuhi dengan kesenangan maka tak perna sedikitpun dalam dirinya untuk mempelajarinnya.
Hamid terus menlantunkan ayat demi ayat dengan alunan nada yang mampu membuat dirinya masuk dan merasakan sebuah kenikmatan batin yang amat dalam, matanya tak berkedip, indra pendengarnya terus dia manjakan dengan aluan suara Hamid.
Selama hidupnya hanya dihabisakan untuk menyenangkan diri sendiri, menghabisan uang orangtuanya. Hingga dia harus mengantikan ayahnya untuk mengelola usaha keluarga, walau dia masih terjebak pada kehidupan yang penuh dengan sebuah masiat.
“Menikahlah Don, kamu akam membawa hidupmu lebih baik”.
“Doni sangat sibuk bu, jadi tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu”.
“Semua orang yang sudah dewasa memikirkan untuk memiliki kehidupan rumah tangga agar dia mempunyai keturunan sendiri”
“Masih banyak waktu bu”.
Menikah menjadi sebuah desakan sangat sering datang dari ibunya, bahkan ibunya telah menyediakan calon istri yang sangat cantik, tapi ditolak dengan keras oleh dia. Baginya sekarang bukan saat membiarkan hidup dibatasi oleh seorang wanita.
Penolakannya terhadap menikah, tidak menbuat dia menarik diri dari seorang wanita. Dikalangan temannya dia terkenal dengan seorang yang selalu bergonta ganti pacar, tidak ada satupun wanita diajak untuk menjalin hubungan serius.
“Aku hamil mas”.
“Apa, kita melakukannya dengan aman, nda mungkin kamu hamil. Lagipula tidak hanya akukan yang tidur dengan mu”. Sebuah tanparan langsung mendarat dipipinya, sikapnya ini membuat Nita yang menjadi pacarnya sangat marah. Hubungan ini adalah murni antara mereka berdua, janji manis yang dia utarakan membuat Nita berani memberikan segalanya.
“kamu menjanjikan hubungan ini sebuah hubungan yang serius, dan asal kamu tahu bahwa tidak ada laki-laki lain dalam hubungan kita”. Amarah yang telah memuncak dapat dilihat dari raut wajah wanita yang perna dia anggap sebagai pacar. Sikap yang sama telah sekian kalinya dia lakukan terhadap wanita, namun baru kali ini dia menghadapi seorang wanita yang tak menyerah begitu saja dengan alasannya.
Selama ini dia cukup lihai menghadapi setiap wanita yang menuntut banyak akan hubungan mereka, setelah amarah mereka sangat tinggi dengan wajah yang penuh memelas dia menbujuk kembali dengan menjanjikan sebuah pernikahan dan meminta mereka mengugurkan kandungan dengan uang yang sangat besar nilainnya.
Sikap Nita yang berbeda dan memilih tidak meminta apapun darinya terasa sangat berbeda, tapi semua sikap baik telah mati dihatinya, tersisa adalah kesombongan, penaklukan dan sifat jahat lainnya. Hanya sejenak dia mampu membawa dirinya pada sebuah kenyataan dengan sikap ibah, selang beberapa waktu dia kembali pada sifat aslinya.
“Lupakan Nita sob, dia hanya wanita seperti kebanyakan. Mengaku hamil sama kita pada hal telah banyak laki-laki yang tidur dengannya, kita tidak temukan dia di tempat ibadah yang melahirkan kesucian, tapi kita menemukan di tempat orang bejat berpetualangan”. Wandi mencoba membuka pikirannya, terlihat sebuah kegelisah diwajahnya. Kehidupan malam dengan pesta minuman keras, narkoba dan wanita menjadi sebuah kebutuhan hidupnya setiap hari.
“Mari kita lanjutkan pesta”. Kemerihan yang tak mungkin terlewatkan, garis wajah Nita yang menunjukan amarah menjadi sebuah perbedaan mendasar dengan wanita lain yang berhubungan dengan dia. Pikiran terkadar membawa dirinya kewajah itu, namun setiap didatang kembali dia minum dan berlabulah dia keadalam tak sadarnya.
Kepergian ayahnya tidak merubah banyak akan sikapnya, waktu yang berkurang yang memberi nuasa berbeda sebelum kepergian ayahnya. Setiap langka dia lakukan tanpa sepengetahuan orangtua, dengan penuh perhitungan tindakan itu tak perna melibatkan orangtuanya.
“Bagaiman Don, kamu betah tinggal disini”. Ustad Usman mengembalikan dia kedunia nyata, setelah hampir enam bulan dia berada pondok pesanter Al Hikmah. Seluruh waktunya dia gunakan untuk mempelajari ilmu agama dan berusaha membiarkan hati menjadi tenang.
“Apapun masalahmu aku melihat sebuah kebaikan didalam dirimu, dengan kebaikan itulah yang menyelamatkanmu dari segala mara bahaya”. Kebaikan, apa yang membuat Ustad Usman menggap dia baik, segala prilaku buruk dia terhadap wanita selama ini tidak dikategorikan sebagai perbuatan baik. Ditengah kesendirian setelah bertemu Ustad Usman kembali dia menjelajah masa lalunya menginggat perbuatan mana yang telah dilakukan yang dapat dikatakan baik.
Malam itu menjadi sangat tak biasa keluar sendiri, menelusuri daerah yang tak dia kenal. Mobilnya melaju dengan penal dan tak satupun desakan untuk menyetir dengan gebut dari dalam dirinya, daerah itu sepi dengan kendaraan. Dia memutar lagupun sangat pelan, dibiarkan terus nalurinya melewati daerah itu.
“Kenapa kamu dek”. Dia melihat seorang anak perempuan menagis dengan histerisnya, mobilnya diparkir dan dia turun. Sesekali dia mencoba melihat di sekeliling mengharap ada orang datang sehingga dia tak perlu lagi mendekati anak perempuan itu. Namun apa yang diharapkan tidak kunjung datang hingga dia disamping anak itu.
Dibalik tubuh munggil itu tergeletak seorang nenek dilumuri darah di seluruh mukannya, dengan sigap dia menbawa nenek itu kemobil dan menyuruh anak perempuan untuk mengikutinya, sepanjang perjalanan kerumah sakit dia melaju dengan sangat kecang hingga sampai dirumah sakit.
“Bagaimana dok dengannya”. Tangisan anak itulah yang menahan untuk langsung pergi, dia menemaninya hingga dokter keluar.
“Apa ada keluarganya”.
“Bukan Dok, ini cucunya”.
“Dia ingin bicara dengan anda”. Dengan penuh rasa heran dan penasaran dia menuju kamar nenek yang baru saja dia tolong. Entah apa yang akan terjadi, baginya semuanya sudah terlanjur terjadi. Memenuhi kenginan seorang nenek yang sedang sakit tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
“Den, maafkan saya merepotkan. Saya hanya minta tolong jaga cucu saya, saya tidak memiliki keluarga satupun disini. Semua kebaikan aden tidak dapat saya balas, saya hanya akan memohon pada Allah diakhir hayat saya ini memberihkan hidayah dan keselamatan pada aden”. Tak sempat dia menjawab dan menolak keinginannya, nenek itu telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Terjebak dalam sebuah permintaan dari seorang nenek yang telah meninggal adalah mimpi buruk, akhir yang tak diharapkan. Menanggung bocah bukan sebuah pekerjaan mudah, apalagi tidak ada sedikitpun tali persaudaraan. Penjelasan apa yang mengharuskan dia memenuhi permintaan itu, tidak ada satu orangpun yang akan menghakiminya.
“Maaf pak, nenek anda harus segera diuruskan surat kematian”. Dia terkaget ketikan harus menganggat HP dan ternyata telpon itu datang dari suster rumah sakit tempat dia meninggalkan nenek yang telah dia tolong tadi.
“oh baik lah”. Lama baru mampu menjawab telpon suster, merasa sangat jauh dia lari kenapa masih saja harus kembali, harus berurusan dengan nenek ini. Karna tak lagi mampu melarikan diri akhirnya dia mengurus semua kebutuhan hingga pemakaman. Amanah yang telah dia terima, dengan sedikit berat dia jalankan.
Penjelasan singat untuk orangtuanya tentang anak perempuan yang ternyata benama Alia, tiba-tiba saja terbesik. Dengan alasan bahwa Alia adalah koponakan supir temannya yang sedang mencari kerja karna orangtuanya sedang sakit.
“Dia bisa menemani ibu, Mira dan Wita sudah jarang dirumah”. Ibunya menurut saja dengan apa yang dikatakan dia, semua menjadi ringga setelah dijalankan. Pada hal sepanjang perjalan pulang dia telah menghabiskan tenaga dan energy banyak hanya untuk memikirkan apa yang harus dikatakan pada ibunya.
Tanpa disadari setelah beberapa bulan, dia mulai merasakan sebuah perubahan yang sangat aneh. Sikap dan perbuatan mulai berubah, rasa malas dan enggan untuk memenuhi hasrat dan nafsu untuk bergaul serta pesta dengan temannya meladahnya.
Penderitaannya bertambah berat ketika mimpi-mimpi buru mulai menemaninya, hampir setiap malam datang mengusik. Sejak saat itulah kegundahan hatinya mulai terusik untuk menjadi lebih baik, sekuat tenaga dia mencoba untuk melangkah dan pergi kembali menemui teman-teman pestanya, tapi selalu saja gagal.
Sekarang baru dia sadari, apa yang dilakukannya untuk nenek dan Alia lah yang menyadarkan dia. Akhirnya dia berada di tempat yang memberikan begitu banyak pelajaran hidup sesuai hakekat dia diciptakan.
“Tuhan terima kasih”. Rasa syukur yang tak habis-habis di ungkapkan dengan ucapan dan perbuatan kepada tuhan karna telah menyadarkan dirinya untuk kembali menjadi manusia, bukan manusai yang tak menyadari akan hakekatnya dibumi. Melakukan perbuatan yang hanya merugikan dirinya sendiri.
Kepulangannya disambut dengan tangis dan rasa syukur yang amat mendalam dia dapatkan dari ibunya, sesampainya dirumah dia cerita semua yang telah dialami kepada ibunya. Dibalik itu semua, selama ini sebenarnya ibunya sangat tahu apa yang dilakukan anaknya. Ibunya tidak mampu berbuat apa, hanya dia tahu dan bisa dilakukan adalah hanya berdoa kepada tuhan supaya anaknya mendapatkan hidayah dan kebaikan………………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar