08 Februari, 2010

KEDATANGANNYA KEHANCURANKU

Sejauh apa tekatmu untuk berubah sangat tengantung pada sebuah kemampuan melawan setiap halangan yang menganggu konsentrasi. Sebuah ungkapa yang harus dipercaya kebenaranya, walau tidak dapat aku jalankan secara sempurna.
Tekat untuk berubah datang begitu saja, setelah aku tahu bahwa semua kehidupanku selama ini telah menghancurkan keutuhan keluarga. Setiap hal buruk aku dedikasikan kepada ayah yang selama ini telah membuat hidupku sangat hancur.
Keinginanya agar aku menjadi seorang dokter seperti dirinya, telah dia siapkan sejak dini. Keputusan dalam setiap pendidikan selalu harus atas persetujuannya, tidak satupun ayah membiarkan aku mandiri melakukan dan mengambil keputusan sendiri.
Setumpuk buku yang mengarahkan diriku untuk menjadi seorang dokter menjadi selalu hadia yang ayah angga sebagai sebuah hadiah yang akan membuat aku merasa gembira. Awalnya semua perlakuan itu aku angga sebagai sesuatu yang sementara, keyakinanku mengatakan setelah aku dewasa nanti ayah akan membiarkan aku memilih sesuai dengan apa yang aku inginkan.
“Ayah, tolong hargai sedikit perasaan Miko, setidaknya biarkan aku bergaul dengan teman-teman”. Ungkapa itu selalu ingik aku kata ketika berada didepannya, pancaran mata yang dilapisi oleh kaca mata tebal serta gerakan mulut yang dilapisi kumis tebal, membuat aku tak mampu mendorong jiwaku untuk memberikan irama otak agar mengeluar kata-kata itu lewat mulutku.
Kini sosok itu telah pergi meninggalkan sebuah penyesalan sangat dalam bagi diriku, setelah semua aku pendam sendiri akhirnya aku malah terjerumus dalam sebuah pergaulan yang selalu menganggap bahwa hidup adalah milik kita, maka segalanya harus atas kemauan kita.
Menghadapi segala perbedaan dengan lingkungan kami lawan dengan perbuatan yang tak mereka sangka-sangka. Mabuk, menggunakan obat-obat terlarang adalah sebuah senjata yang sangat ampuh untuk melawan setiap arogansi.
“Sikap terbaik dari sebuah kedewasaan berpikir adalah mau menerima keadaan dengan lapang dada”. Itu adalah pelajaran pertama dari seorang om Darto, selama kepergian ayah dialah yang merangkul aku dalam sebuah sikap positif.
Ditengah pergulatan keluarga yang mengarahkan semua kesalahan atas kepergian ayah kearahku, om Darto malah membawa aku pada sebuah ruang yang menbuat aku sadar bahwa hidup ku belumlah berakhir. Ada banyak tanggung jawab yang harus ku emban sebagai anak pertama.
“Agar kamu lebih konsentrasi dan mendapat pengawasan serta terhindar dari lingkungan yang akan membuatmu kembali, om Darto akan membawa kamu kepondok pesantren”. Di pondok milik Pak Salman teman om Dartoa aku mulai memprogramkan diri untuk berubah.
“Berubah adalah kata yang sangat mudah diungkapkan, namun dibalik mudahnya perkataan itu terkandung sebuah perjuangan untuk dapat mewujudkan”. Ust Salman memulai ceramahnya dengan kata perubahan, cerama ini sengaja khusus untuk membuat aku sadar atau cerama itu sudah dijadwalkan olehnya untuk disampaikan pada saat pertama kali aku mengikuti.
“Kalian akan menerima beberapa lapis godaan, setiap lapisan itu setan selalu mempunyai keahlian khusus untuk menaklukan kita”.
Ust Salman menjalaskan seluruh hal yang mungkin akan aku alami setelah aku memulai langkahku dalam sebuah perubahan positif, selama macam ibadah telah dia jelaskan dengan jelas. Penjelasan itu berlangsung selama seminggu, dengan berbagai cara. Terkadang aku menerimanya dalam ceramah umum yang setiap murid pondok mendengarkannya, atau dia memanggil khusus diriku, bahkan ditengah kami berjalan dia terus mengarahkan dan mendorong diriku untuk total dalam misi perubahan ini.
“Ini sebuah perang sangat menguras tenaga dan emosi serta lahir batin, kamu harus kuat. Yakinlah aka nada pertolongan dari Allah ketika kamu sudah mulai melewati setiap fase-fase pendewasaan yang matang atas dirimu”.
“Doakan saja Ustad, saya sangat serius untuk melakukan ini. Saya tidak ingin tersesat dalam sebuah pergulatan jiwa yang akan menjerumuskan saya”.
“Doa saya serta keluargamu akan selalu menyertai langkahmu”. Setelah mendapat pengarahan langsung dari Ustad Salman aku harus melakukan kegiatan rutin di pondok itu, aku bukan lagi murid yang istimewa yang setiap saat mendapat pengarahan langsung dari Ustad Salman.
Semua harus aku lewati dengan sebuah tekat yang kuat, dukungan teman-teman dipondok seolah menjadi sebuah obat yang akan mampu memberikan ketenanga untuk batin dan jiwa seorang pengembara yang tersesat.
Rutinitas yang sama selalu mewarnai hariku, berawal dari tengah malam hingga tidur setelah mengaji menjadi sebuah perputaran waktu yang sangat panjang. Pergerkannya sangat menguras tenaga untuk dilewati, yang berat untuk dilewati adalah kita sebuah bisikan yang entah dari mana, datang menemani setiap langkahku.
“Kamu salah mengambil jalan ini, ini akan membuatmu semakin terluka karna kamu akan menyusul ayahmu”. Ditengah aku coba untuk beribada dengan khusuh dia datang, kedatangannya terasa sangat dekat. Entah lewat kuping atau aku hanya bisa mendengar dari dalam jiwaku sendiri.
“Satu hal yang kamu harus tahu, bahwa setiap orang yang tiba-tiba berbuat baik dan taat biasanya kematian akan menjemputnya”.
“Ketika dia datang sia-sialah segala perbuatanmu ini, karna tidak akan berguna sedikitpun”.
“Apa yang kamu pikirkan Mik, aku melihatmu dari tadi sangat gelisah”. Tepukan pundak yang Ahmad lakukan membuat aku tersentak, aku larut dengan bisikan yang datang silih berganti. Seolah apa yang aku dengar itu menjadi sebuah kenyataan yang tak mungkin di pungkiri kebenaranya.
Sudah banyak cerita yang hinggap dikupingku tentang masalah kematian yang diawal dengan perbuatan baik, aku merasa belum saatnya kematian itu datang padaku. Karna aku ingin berbuat sesuatu yang akan membuat mamaku mau mengakui aku sebagai anaknya lagi.
“Aku memikirkan sebuah kematian yang tak semestinya datang pada saat orang mulai mencoba menata kehidupan setelah sekian lama dia gunakan untuk sebuah kesalahan”.
"Jangan biarkan itu menjadi sebuah penghalang untuk kamu maju dan melanjutkan sebuah perbuatan baik. Coba kamu pikirkan, mana yang lebih baik mati ditengah kita menikmati kehidupan yang penuh dengan kamasiatan di bandingkan mati ketika kamu sedang melakukan sebuah perbuatan baik untuk dirimu sendiri”.
“Hal yang paling berat yang harus kamu lalui adalah menyadari bahwa sebuah kematian tidak dapat kita sangka-sangka kedatangannya. Bahkan setanpun tidak tahu, karna kematian itu datang pada diri kita, dengan kelemahan hati dan pemahaman kita akan hal itu, setan mengambil bagian itu untuk melemahkan semagat kita”. Nasehat itu seakan memberikan sebuah solusi jitu untuk menghindar dari sebuah pelemahan tekat yang dilakukan oleh sebuah bisikan yang tak tahu datang dari mana. Yang dia tahu bisikan itu dapat dia dengar dengan jelas.
Selang waktu berganti setelah aku dapat kembali bersemangat untuk menjalankan ibadah, bisikan itu datang dengan pengaruh yang berbeda. Seolah dia tahu semua kelemahan yang akan membawa aku kembali berbuat sesuatu sehingga kebahagian akan aku dapatkan.
Setelah menjalankan sholat Dhuhur berjamaah, aku membiarkan diri larut dalam sebuah zikir. Aku berharap dengan ini aku akan mendapatkan sebuah energy positif yang akan membawaku pada sebuah fase yang lebih dari apa yang telah aku lakukan selama di pondok ini.
“Kamu hebat Miko, sekarang kamu adalah orang yang sangat sabar dan baik”.
“Segala kebaikanmu ini akan sangat berguna ketika kamu pulang dan berbakti pada mamamu, dia sangat kesepian setelah kepergian ayahmu. Segala ilmu telah kamu dapatkan tinggal kamu praktekan dirumah”.
“Bukankan praktek langsung jauh akan membawa kamu pada proses yang sangat cepat untuk berubah”.
Jarinya bergerak, menghitung setiap bacaan yang dilakukan. Ditengah diriku larut dengan setiap hitungan dan bacaanku, aku merasa seolah sudah menjadi manusia yang sangat suci. Apa yang aku lakukan sekarang menjadikan aku berubah hampir 180 derajat, bibirku seolah bergerak sendiri menunjukan bahwa aku telah menjadi manusia yang sangat bahagia dengan apa yang selama ini aku lakukan.
“Wahai saudaraku, sungguh senyummu membawa aku pada sebuah kegelisahan”. Expresi wajah Ahmad seolah menyadarkan dirinya bahwa aku melakukan sebuah perbuatan yang tak ada manfaatnya.
“Apa yang membuatmu gelisa Ahmad, bukankah kamu melihat sendiri aku merasa sangat bahagia. Selama ini aku telah belajar sangat keras dan giat sehingga kepuasan itulah yang memancarkan diri lewat senyumku ini”.
“Apa yang membuatmu tersenyum ketika aku mendengarkan bacaanmu tak terucap dengan benar, aku melihat, kamu tidak meresapi setiap zikir yang terucap. Aku melihat kamu begitu terburu-buru sehingga terkadang kamu melewati hitunganmu”. Kali ini aku kaget dengan apa yang Ahmad katakana, tanpa aku sadari dengan jelas. Aku terkadang lupa sudah berapa banyak zikir yang telah terucap. Aku larut dengan bisikan yang membuat aku bangga akan semua usahaku.
“Langkah selanjutnya yang setan serang adalah membuat kita puas akan apa yang telah kita lakukan, pada hal kita masih dalam proses. Mereka akan membuat kita merasa bahwa seorang pemula tidak perlu melangkah lebih jauh untuk beribadah”.
“Apa yang kamu ucapkan baru saja aku alami, dia membawa aku pada sebuah kesombongan”. Akhirnya aku menyadari bahwa bisikan itu datang untuk memperlemah niatku untuk terus membentengi diri akan godaan yang menghampiri aku.
“Dia datang dengan sangat halus, semakin kita mempertebal keimanan, semakin gencar dia menyerang. Kelemahan kita adalah cepat merasa puas dengan apa yang kita lakukan, pada hal kepuasan itu membawa kita pada sebuah pelemahan karakter untuk terus maju”.
“Terima kasih, aku sadar dia datang karna ilmuku masih sangat sedikit sehingga tanpa disadari aku membiarkan dia masuk keruang kesombongan yang sedang aku coba untuk menutupnya”. Ahmad kembali membawa aku kejalur yang benar dalam melakukan sebuah ibadah, tanpa disadari aku merasa bahwa aku sedang belajar dari Ahmad. Ahmad bukan seorang guru atau Ustad dipondok ini, dia adalah murid biasa seperti aku.
Kami berada dalam sebuah kamar, kedekatan kami kian hari semakin dalam. Sering kami saling bertukar pikiran, membahas setiap pelajaran atau ceramah yang baru saja kami terima. Hubungan itu semakin akrab ketika dia mampu menyadarkan aku dikala setiap langkahku mulai mengarah pada sikap yang tidak benar.
“Apa yang membawa kamu kesini”. Aku merasa sebuah ketenangan batin yang sangat kuat ada dalam diri Ahmad, namun dari sikap dan caranya berbicara aku merasa dia bukanlah orang yang dengan sengaja dikirim oleh orangtuanya dengan harapan kelak akan menjadi seorang ustad di daerahnya.
“Butuh proses yang panjang untuk aku berada disini”. Aku melihat Ahmad menarik nafas yang sangat dalam sebelum mampu mengatakan hal itu, sebuah perasaan yang mampu membuat aku masuk kedalam sebuah penderitaan yang sangat kelam.
“Aku hanya ingin mendapat sebuah energy dari kisahmu, mungkin dari situ aku akan membawa diriku semakin bersemangat melewati setiap godaan itu datang”.
“Aku kehilangan seluruh keluargaku, amarah yang tak terkendali akan sebuah penghianatan. Aku seolah terjebak pada sebuah situasi yang tak semestinya aku lakukan”. Sepanjang cerita itu berlangsung aku melihat Ahmad dengan sekuat tenaga dia mengarahkan dirinya untuk tetap berada dalam sebuah ketenangan.
Dia membakar rumahnya, perbuatan itu dilakukan dengan sengaja. Perbuatan mamanya yang berselingkuh dengan teman kerja papanyalah yang membuat dia kalap, emosinya menguasai seluruh alam bawah sadarnya. Kemarahanya memuncak ketika pulang sekolah dia melihat mamanya berada satu kamar dengan lelaki itu, tanpa berpikir panjang seluruh rumahnya disiram dengan bensin yang dia keluarkan dari tengki motornya.
Dengan bahasa yang halus dia telah mencoba menegur mamanya dan mengatakan bahwa semua itu sangat membuatnya terluka. Namun apalah daya seorang bocah yang baru duduk di SMP kelas satu, omongannya seolah tak perna dapat dipercaya.
Hal itu dibuktikan dengan sikap papanya yang tak mau percaya dengan pengaduannya tentang kelakuan mamanya, rasa cinta yang teramat mendalam dengan wanita yang dijodohkan orangtuanya telah mampu menbuta dan mentulikan teliga papanya.
Dengan nafas yang tersengat-sengat Ahmad membakar rumahnya, lingkungan rumah itu sangat sepi karna biasanya pada siang hari jarang ada orang, karna kebanyakan orang dilingkungannya adalah pekerja kantoran. Rasa panas yang mengelilingi rumah itu tidak terasa oleh mama dan temannya karna mereka dalam keadaan tertidur.
Satu hal yang terlupakan olehnya, bahwa pada jam itu, adik perempuannya pun tertidur pulas dikamarnya, ketika akhirnya dia melihat papanya datang. Tanpa berpikir panjang papanya masuk dengan meneriakan bahwa dia harus menyelamatkan Mita adik perempuannya.
Emosi yang memuncak itu berubah menjadi ketakutan yang sangat dalam, dia lupa bahwa adiknya ada dalam rumah itu. Harapan bahwa papanya akan keluar membawa Mita punah ketika setelah sekian lama dan orang mulai berdatangan, dia tak melihat seorangpun keluar dari kobaran api yang semakin membesar.
Proses hukum tidak dapat diterapkan pada Ahmad, umurnya yang masih sangat mudah membuat polisi mengarahkan Ahmad pada sebuah langkah pemulihan jiwa. Rasa sayang seorang tantennyalah yang membuat dia berada di pondok pesantren bersama aku.
“sudah hampir tujuh tahun aku mencoba untuk dapat memaknai setiap periode waktu yang terlewatkan”.
“Dia datang dan pergi membuat aku terombang ambing dengan perasaan bersalah”.
“Disaat aku sudah mampu membangun benteng untuk menata hidupku, kembali dia datang dengan pasukan yang siap tempur dengan segala cara untuk memenangkan jiwaku”.
“Hingga akhirnya aku dapat mempelajari setiap serangan yang dia lancarkan, dan setiap pengulangan itu aku dapat merasakan sebuah cara yang sama untuk setiap serangan itu datang. Dengan kesadaran itulah aku bangkit dan melawan setiap dia datang”.
Bergulirnya waktu terus menyeret aku akan sebuah dahaga yang sangat dalam, setiap hari Ahmad mampu membuat aku sadar bahwa perjuangan ini adalah sebuah langkah yang harus diambil. Sedikit saja kita lengah dia akan datang menyerang dengan cara yang sangat halus, serta dengan jurus-jurus yang amat tidak kita sadari datangnya.
“Tapi kamu tidak perlu merasa lelah, ketika kita mampu melewati semua serangan itu dengan sabar Allah akan selalu membantu kita melaluinya dengan mudah. Semudah kamu menghelaskan nafas untuk kehidupanmu”. Keputusan yang benar dari semua perubahan ini adalah aku akan tetap bertahan hingga aku dapat merasakan datangnya pertolongan Allah sehingga aku tidak akan mampu kembali lagi terjebak kedunia masa lalu yang kelam………………..

IBU TERBAIK SEDUNIA

Berhamburan, berantakan, bertebaran, seluruh isi kamar. Lupan emosi itu datang, dan kamarnyalah tempat yang selalu membuatnya nyaman. Istana kecil yang dikelilingi oleh dinding berwarna biru yang menjadi warna favorit.
Tatanan seluruh barang dilakukan berdasarkan keseimbangan dan keluesan dia bergerak, menari, dan membiarkan emosinya meluap dengan berbagai rasa. Boneka beruang yang menjadi teman sejati sejak SD selalu ada disetiap sudut, pancarannya warna pink menjadikan semakin menarik.
“Mir, buka pintu”. Kerasnya suara gedoran pintu tak membuat dia terbangun dari tempat tidur setelah semua barang yang dikamar diberantakin. Berulang kali suara itu datang tak sedikitpun ada isyarat bahwa dia mau menanggapinya.
“Bu, biarkan Mira istirahat”.
“Dia datang sambil nangis Pa”.
“Biarkan dia sendiri dulu bu, mungkin dia hanya kelelahan”.
Perdebatan orang tuanya terus berlanjut, hingga akhirnya dia keluar lalu memeluk ibunya. Belaian halus dari ibunya jauh lebih memberikan sebuah perasaan damai ketimbang seluruh kamarnya diacak hingga bagaikan kapal pecah.
Diiringi belaian lembut pada rambut lurus panjang terurai, ibunya membawa kembali kekamar. Langkahnya harus pelan dan terarah dengan baik, hampir seluruh benda berada dilantai sehingga menghalangi setiap langkah yang mereka lakukan.
“Ibu adalah teman sejati selain boneka beruangmu, biarkan air matamu selalu berlinang dipangkuan ibu”.
“Damar bu, dia selingkuh dengan serli”.
“Serli teman baikmu, kamu mungkin hanya salah paham”.
“Aku melihat mereka berdua dicafe, mesra bangat bu. Sikap mereka menunjukan sebuah hubungan sangat intim”.
Dia terus bercerita bagaimana hubungannya dengan Serli, Damar, keterbatasan waktu yang dia miliki untuk menemui Damar menjadi sebuah alasan mengapa hubungan mereka dalam keadaan yang tidak harmonis. Cerita itu mengalir dengan derasnya, namun hanya tangapan singkat dan belaian yang mampu ibunya lakukan. Hingga akhirnya diapun tertidur dengan sangai tenang, napasnya yang teratur dengan irama kelembutan menandakan bahwa batinya dalam keadaan tenang.
Disisi lain Marni yang merupakan ibunya Mira hanya tersenyum tipis, dia tidak merasa anak yang selama ini dijaga, dia didik dengan penuh ketulusan telah tumbuh menjadi dewasa. Apa yang dilakukannya selama ini untuk Mira dan suaminya mampu memberikan kebahagiaan.
“Gimana keadaan Mira bu”.
“Dia sudah tidur, Papa benar dia hanya kelelahan”. Tanpa senyum tipis dari suaminya terlihat jelas dari wajahnya ketika mereka mengobrol diruang tengah setelah dia mampu membuat Mira tertidur.
Seberat apapun kesulitan yang silih berganti datang dalam kehidupan rumah tanggannya, selalu mampu dia hadapi. Kebesaran hati dan senyum manis serta sikap manja dari Mira mampu menjadi obat mujarat sehingga hatinya mampu dia tata kembali untuk membawanya tersenyum.
Ketika pagi datang, hal yang utama dia lakukan adalah bersyukur dengan sujud. Setelah itu segala kebutuhan suami dan anaknya dia siapkan, tak ada rasa lelah dan bosan yang dirasakan ketika hal itu harus berulang setiap harinya.
“Pagi sayang, tersenyumlah walau hatimu sedang sakit. Membiarkan wajahmu olah raga agar darah yang mengalir diotakmu mampu memberikan rasa bahagia”. Belaian lembut dan kecupan manis dia rangkai dengan kata yang dia anggap akan memberikan energy positif bagi Mira.
“Mira beruntuk memiliki ibu yang paling baik sedunia”. Pujian itu datang diiringi dengan sebuah senyum tipis dari bibir anaknya, jantungnya berdetak lembut, aliran darah mengalir lembut, semua itu memberikan rongga untuk dia merasakan sebuah perasaan bahagia.
Kegelisanya terobati ketika melihat perkembangan Mira, setelah beberapa hari dia melihat anaknya tanpak bahagia. Ada sebuah isyarat yang sangat kuat dari bahasa tubuh Mira, sebuah tanda bahwa masalahnya telah selesai. Walau dia merasa sangat dekat dengan Mira, dia mampu membatasasi diri untuk tidak membuat setiap sikap dan pertanyaan tidak berlebihan agar anaknya merasa nyaman.
“Mir, kamu sekarang sudah dewasa. Papa ingin kamu menikah, menurut papa pasangan yang cocok untuk kamu adalah Sandi”. Dia tersetak dan kaget dengan pernyataan suaminya, secepat itu juga dia menakap sebuah kepanikan pada wajah anaknya. Selama ini dia tidak perna membahas setiap kehidupan asmara Mira pada suaminya.
Kesibukan dan kelelahan suaminya membuat dia tidak tega menambah satu masalah lagi, menurutnya kehidupan asmara Mira tidak menjadi sebuah masalah yang akan memberikan danpak jauh bagi kehidupan keluargannya.
“Mira ingi kerja dengan baik dulu pa, baru menikah”.
“Kerja dan menikah adalah sebuah irama yang akan berjalan dengan beriringa”. Dia mendengar ucapa suaminya keluar dengan lembut, namun kandungan yang terpancar adalah sebuah ketegasan yang tak mudah dibantah.
“Mira baru saja kerja pa, butuh konsentrasi untuk menjalankannya”.
“Papa sudah bilang dari dulu, sebaiknya kamu kerja di perusahaan kita. Papa menyekolahkan mu tinggi-tinggi untuk melanjutkan usaha papa”.
Dia belum mampu menemukan cela yang baik untuk memberikan sebuah pandagan, kebinggungan harus berpihak pada siapa menjadikan mulutnya semakin membukam. Kebinggungan yang mengarah pada sebuah keresahan yang terlihat diwajah anaknyapun belum mampu untuknya memilih.
Kegundahan kembali dirasakan oleh Mita, dia berharap akan mendapatkan pertolongan dari ibunya. Keberpihakan ibunya sangat penting, karna begitu terbukannya dia sama ibunya sehingga semua hal yang dihadapinya selalu dia ceritakan.
Kenyataan yang harus dia terima adalah melihat ibunya terdiam tanpa satu katapun terucap. Hingga berakhirnya makan malam itu pembelaan yang diharapkanya tak kunjung datang. Kembali dalam sebuah kamar yang selalu mampu membawa perubahan dalam jiwanya, walau tak banyak tapi setidaknya ada sebuah dinding yang mampu dia andalkan untuk tetap menjadi orang yang sadar akan sebuah kehidupan yang pasti harus melalui masalah demi masalah.
“Jangan biarkan wajah kusutmu itu ketauan ama bos, bisa-bisa kamu malah akan memdapat kerjaan jauh lebih banyak”.
“Kata dia, dengan bekerja kalian akan dapat melupakan masalah yang nda penting selain urusan kantor”. Dara seolah mengingatkan dia akan sebuah kebiasaan yang selalu diterima karyawan dikantornya jika ketahuan bos memikirkan urusan lain selain urusan kantor.
Pagi itu dia berangkat dengan kesal, dia melewatkan rutinitas pagi yang biasa dilakukan dengan orantuanya. Sikap ini seolah member isyarat akan sebuah kemarahan akan keputusan sepihak dari papa dan kecewa akan sikap ibunya.
“Aku tahu”. Cukup singkat dia menanggapi pernyataan Dara. Dara memiliki posisi yang istimewa dikehidupan Mira, bersahabat sejak SMA, berlanjut kuliah bareng hingga akhirnya berada dalam satu ruangan di kantor.
Tak satupun masalah dia yang tidak Dara tahu sejak SMA, kehidupan pribadi yang dimulai dari bagaimana kehidupan dia dengan orangtuanya hingga kehidupan asmara tak perna terlewatkan oleh Dara. Persahabatan itu terasa sangat manis, mereka melewati setiap masalah dengan saling mendukung.
“Papa menjodohkan aku dengan anak sahabatnya”. Akhirnya dia dapat dengan leluasa curhat dengan Dara ketika jam istirahan. Sikap ibu yang tidak memberiak respon apapun hingga terbentuk perasaan kecewa dalam dirinya, dia ungkapkan.
“Ada pertimbangan yang belum siap ibumu ucapkan, dia mungkin masih memikirkan cara yang terbaik agar tidak melukai kamu dan papamu”.
“Setidaknya ibu mencoba mengatakan bagaimana keadaan hatiku saat ini, karna ibu tahu bagaimana keadaanku”.
“Seperti kenbanyakan orangtua, mereka selalu mengatakan bahwa apapun yang mereka lakukan adalah untuk kebaikan anaknya. Agak basih sih kedengarannya, namun terkadang itu menjadi sebuah kebenaran”.
“Maksudmu aku terima perjodohan itu, nda mungkin membuka hatiku sekarang. Masih sakit, perbuatan Damar masih memberikan bekas luka yang dalam”.
“Mungkin ibumu berharap dengan perjodohan ini memberikan sebuah harapan untuk kesembuhan luka hati yang kau alami sekarang”. Dia tidak berharap Dara menunjukan sebuah pembenaran atas perbuatan orangtuanya.
Waktu yang memisahkan mereka dari perbedaan pendapat yang belum menemukan titik kesepahaman dari sekian argument yang mereka ungkapkan. Namun rasa kecewa harus kembali dia rasakan setelah ibunya kini sahabatnya pun tak memberikan angin segar untuk mendukungnya.
Sepanjang hari yang melelahkan itu, terlewatkan dengan setupuk pekerjaan yang harus segera selesai. Walau hati terasa sangat panas dan kalut, tidak ada pilihan lain yang mampu dia ambil kecuali menuruti perintah untuk segera menyelesaikan pekerjaan.
Menghindar dan memending pekerjaan bukan obsi terbaik, karna sedikit saja dia ketahuan melakukan itu maka posisinya bakal terancam hingga sebuah pemecatan mungkin saja akan dia alami. Ketika hal itu terjadi, akan semakin susah dia menghindar dari tawaran papanya bergabung diperusahaannya.
“Mir, Sandi menunggumu”. Kelelahan yang diisyaratkan oleh gerak tubuhnya lemas tak bertenaga, tidak mampu menarik perhatian ibunya untuk menolongnya terbebas dari tamu yang sudah lama terlupakan ini.
“Mira, lelah sekali bu. Sudah dua minggu ini pekerjaan sangat menumpuk”.
“Kasihan Sandi dong sayang, dia udah jauh-jauh dari Bandung masa kamu cuekin begitu saja”. Tubuhnya lunglai ditopang oleh pintu kamarnya, rasa lelah itu telah membuat dia kehilangan energy untuk berargumen panjang dengan ibunya.
“Malam Mir, apa kabar”. Sandi menyapa dengan wajah ceria diserta sebuah senyum terlihat manis bila diperhatikan dengan dalam, namun apa yang mampu dilakukan oleh jiwah yang lelah. Semua menjadi hampa, berganti dengan perasa yang lebih mengarah pada emosi.
“Kamu terliat sangat letih, aku hanya ingin berpamitan pulang”. Ada sebuah perasaan senang ketika akhirnya terbebas dari pertemua yang tidak diharapkan itu. Dengan agukan seadanya dia membiarkan Sandi pulang.
Marni hanya mampu melihat dengan hati yang lirih setiap langkah Mira, sejak peristiwa makan malam itu. Seolah telah tercipta jarak antara dia dengan anaknya. Ketakberdayaannya akan keputusan yang telah suaminya ambil, seolah membuat dia merasa menghianati kepercayaan anak satu-satunya itu.
“Sandi ko ditinggal Mir”.
“Dia udah pulang bu”. Dibiarkan anaknya melangkah terus setelah dia mendengarkan bahwa Sandi telah pulang, sebenarnya tak tega membiarkan Mira menerima tamu dikala terlihat sangat letih. Namun kekecewaan Sandi tak mampu dia lihat, karna semua ini adalah perintah dari suami.
Selang beberapa hari setelah peristiwa kedatangan Sandi, dan melihat sikap Mira yang mulai kelihatan santai. Dia mengambil sebuah keputusan berat untuk menghadapi langsung anaknya, menjelaskan semua yang dia rasakan.
“Ibu bukanlah seorang manusia sempurna yang mampu menjadi selalu yang terbaik”. Dengan langkah pasti dia mendekati anaknya yang terbaring dikamar, yang pada awalnya anaknya membiarkan dia masuk ketika pintu itu terbuka.
“Selama ini ibu tak perna menceritakan tentan kehidupan asmaramu pada papa, ibu hanya merasa bahwa kehidupan asmaramu adalah sebuah kisah yang hanya seorang ibu yang boleh tahu”.
“Ibu mengira selama ini, papamu tak perduli dengan urusan asmaramu. Hanya keseriusan mengurus perusahaan yang membuat ibu tak mau melibatkannya”. Tangannya tak perna lepas untuk membelai rambut anaknya, setiap usapan itu seakan memberikan isyarat penyesalan yang sangat mendalam dari seorang ibu pada anaknya.
“Maafkan ibu, sikap yang ibu tunjukan selama ini, adalah sebuah kebimbangan yang belum mampu ibu temukan jawaban. Keberpihakan yang mana yang semestinya ibu lakukan”. Walau tak mendapatkan tanggapan apapun dari anaknya dia terus mengunggapkan isi hatinya, seolah tak mampu lagi bendung.
“ibu berharap kamu mau sedikit membuka hatimu pada Sandi, setelah itu ibu akan mendukungmu. Ibu akan siap dengan keputusan apapun yang akan kau ambil”.
“Kehadiran Sandi setidaknya mampu membuat kamu lupa akan Damar”.
“Ibu akan tetap menjadi yang terbaik buat Mira”. Pelukan dari anaknya seakan menjadi sebuah selimut yang mampu memberikan kehangatan yang membebaskan dirinya dari perasaan bersalah dan dinginnya dinding-dinding kebekuan hati yang telah dia rasakan selama ini.
Keputusan Mira untuk mencoba membiarkan dirinya mengenal Sandi mengantarkan sebuah hubungan yang kembali membaik dengan anaknya. Salah satu kebahagian seorang ibu adalah ketika senyum yang hilang itu kembali mewarna hari-harinya………..

TAKDIR SEBUAH KEBAIKAN

Kosong, putih, bersih dan bening semua melambangkan kesucian, langkah demi langkah mengembara mencari sebuah kedamaian. Tak perna ada sebuah kata yang mampu menghentikannya.
Bahkan sebuah tangisan datang dari ibunya pun tak mampu membuat dia berpaling, sebuah bayangan mendatanginya untuk mengatakan bahwa segala hal telah menjadi hancur, masa kelam telah menunggunya.
“Hanya kepergianmu yang akan mampu menyelamatkan dirimu”.
“Aku tidak akan lari, semua menjadi masalahku dan aku siap menghadapinya”.
Awal langkah itu tercipta datang dengan desakan yang sangat sering dari sebuah bayangan yang tak tahu muncul dan asalnya dari mana, semulanya dia tak perna mau percaya. Dia menganggap itu hanya sebuah mimpi yang bisa datang kepada siapa saja.
Lambat tapi pasti seolah semua menjadi pertanda akan keharusannya untuk pergi dari kehidupan yang selama ini dia jalankan. Rasa cinta yang berlebihan terhadap keluarganya tak mampu menjadi pertimbangannya untuk tetap berada diantara mereka.
“Don, ibu bangga mempunyai anak seperti kamu”.
“Masih banyak hal yang belum Doni lakukan untuk membuat ibu merasa bangga dengan melahirkan aku”.
“Seorang ibu akan selalu mendapatkan anaknya menjadi sebuah mutiara yang berharga ketika dia mampu membuat ibu dan bapaknya tersenyum walau tak berharta”.
Seluru kemampuan dia kerahkan untuk membuat usaha keluarganya maju dan berkembang, trobosan-trobosan baru di terapkan, setiap peluang diambil. Bakat dan insting yang kuat telah mampu membawa dia untuk selalu percaya bahwa segala kerja keras akan menghasil sebuah kesuksesan.
“Apapun langkahmu ibu selalu dukung, sejak kepergian ayahmu. Ibu melihat begitu banyak perubahan pada dirimu”.
“Doakan Doni bu agar tetap mampu melakukan yang terbaik”.
Sehebat apapun kilas balik hidupnya telah muncul kembali diingatannya, dia tetap memilih untuk meninggalkan semua yang telah dia bangun dengan kerja keras. Langkah ini seolah dapat menyelamatkan seluruh kehidupan dirinya sendri, serta keluargannya.
“Apa yang kamu cari nak, kamu datang ditempat yang salah bila menginginkan sebuah kesenangan sesaat. Keyakinan akan menjadi modal utama untuk kamu berada disini”.
“Saya datang untuk sebuah jawaban”.
“Kekurangan apa yang kau cari jika semua kebutuhan hidupmu telah tercukupi didunia”
Entah kenapa dia terdapar pada tempat yang sama sekali tidak perna dibayakan, disebuah pesantren yang jauh dari hirik pikut keramean kota. Dorongan dari kesunyian diri membuat dia merasa damai berada ditempat ini sehingga memutuskan tidak pergi ketika Ust Usman pemilik pondok pesantren menemukannya berada di pinggir gerbang masuk.
Ustad Usman menjelmah sebagai seorang yang mampu menghilangkan dahaga, telah jauh dan banyak tempat dia coba singgahi namun tempat ini memberikan sebuah getaran aneh yang mampu membuat dia tetap berdiri hingga pundaknya dirangkul sampai dia telah berada dihadapan ustad Usman.
Tak banyak kata yang mampu dia ucapkan untuk setiap pertanyaan Ust Usman, kebekuan yang amat dalam itu mendapat sebuah tangapan yang manis. Setelah keheningga itu terasa sangat membekukan suasana, dia diantar ketempat penginapan salah satu santrinya.
“Tenangkan dirimu dengan sholat, maka kamu akan menemukan apa yang dicari”. Perasaan tenang itu terus membukam mulutnya, dia menarik diri ketempat tidur, lalu tak perlu usaha banyak sehingga matanya terlelap.
“Bangun mas, kita sholat tahajjut”. rasa ngantuk masih melandanya, dia berharap dibiarkan tidur melanjutkan kenikmata tidur yang telah hilang beberapa bulan ini. Tak ada lagi mimpi buruk, malam terasa sangat cepat berlalu.
“Ya”. Sadar dia berada dimana, dengan berat dia melangkah mengikuti Hamid yang menjadi teman sekamarnya. Apa yang dikatakan temannya itu tidak semua dia perhatikan, dia hanya merasa bahwa harus mengikuti setiap langkahnya saja.
Semua dia ikuti, dari awal hingga akhir. Tak ada satu pertanyaan pun yang mampu dia ungkapkan, sikap itu menjadikan dia tenang, itulah yang membuatnya tak merasa perlu bertanya apa-apa.
“Kita ngajikan mas sambil menungguh subuh”.
“ohhhhhhh”. Tangannya mengaruk kepala, pada saat itu tidak sedikitpun terasa gatal. Secara reflex saja tangan itu melakukannya, entah apa yang harus dia katakana pada Hamid. Selama ini pendidikan agama hanya dia dapat disekolah, tidak sedikitpun orang tuanya mengarahkan hidup kearah sana, karna kehidupan remajanya yang salalu dipenuhi dengan kesenangan maka tak perna sedikitpun dalam dirinya untuk mempelajarinnya.
Hamid terus menlantunkan ayat demi ayat dengan alunan nada yang mampu membuat dirinya masuk dan merasakan sebuah kenikmatan batin yang amat dalam, matanya tak berkedip, indra pendengarnya terus dia manjakan dengan aluan suara Hamid.
Selama hidupnya hanya dihabisakan untuk menyenangkan diri sendiri, menghabisan uang orangtuanya. Hingga dia harus mengantikan ayahnya untuk mengelola usaha keluarga, walau dia masih terjebak pada kehidupan yang penuh dengan sebuah masiat.
“Menikahlah Don, kamu akam membawa hidupmu lebih baik”.
“Doni sangat sibuk bu, jadi tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu”.
“Semua orang yang sudah dewasa memikirkan untuk memiliki kehidupan rumah tangga agar dia mempunyai keturunan sendiri”
“Masih banyak waktu bu”.
Menikah menjadi sebuah desakan sangat sering datang dari ibunya, bahkan ibunya telah menyediakan calon istri yang sangat cantik, tapi ditolak dengan keras oleh dia. Baginya sekarang bukan saat membiarkan hidup dibatasi oleh seorang wanita.
Penolakannya terhadap menikah, tidak menbuat dia menarik diri dari seorang wanita. Dikalangan temannya dia terkenal dengan seorang yang selalu bergonta ganti pacar, tidak ada satupun wanita diajak untuk menjalin hubungan serius.
“Aku hamil mas”.
“Apa, kita melakukannya dengan aman, nda mungkin kamu hamil. Lagipula tidak hanya akukan yang tidur dengan mu”. Sebuah tanparan langsung mendarat dipipinya, sikapnya ini membuat Nita yang menjadi pacarnya sangat marah. Hubungan ini adalah murni antara mereka berdua, janji manis yang dia utarakan membuat Nita berani memberikan segalanya.
“kamu menjanjikan hubungan ini sebuah hubungan yang serius, dan asal kamu tahu bahwa tidak ada laki-laki lain dalam hubungan kita”. Amarah yang telah memuncak dapat dilihat dari raut wajah wanita yang perna dia anggap sebagai pacar. Sikap yang sama telah sekian kalinya dia lakukan terhadap wanita, namun baru kali ini dia menghadapi seorang wanita yang tak menyerah begitu saja dengan alasannya.
Selama ini dia cukup lihai menghadapi setiap wanita yang menuntut banyak akan hubungan mereka, setelah amarah mereka sangat tinggi dengan wajah yang penuh memelas dia menbujuk kembali dengan menjanjikan sebuah pernikahan dan meminta mereka mengugurkan kandungan dengan uang yang sangat besar nilainnya.
Sikap Nita yang berbeda dan memilih tidak meminta apapun darinya terasa sangat berbeda, tapi semua sikap baik telah mati dihatinya, tersisa adalah kesombongan, penaklukan dan sifat jahat lainnya. Hanya sejenak dia mampu membawa dirinya pada sebuah kenyataan dengan sikap ibah, selang beberapa waktu dia kembali pada sifat aslinya.
“Lupakan Nita sob, dia hanya wanita seperti kebanyakan. Mengaku hamil sama kita pada hal telah banyak laki-laki yang tidur dengannya, kita tidak temukan dia di tempat ibadah yang melahirkan kesucian, tapi kita menemukan di tempat orang bejat berpetualangan”. Wandi mencoba membuka pikirannya, terlihat sebuah kegelisah diwajahnya. Kehidupan malam dengan pesta minuman keras, narkoba dan wanita menjadi sebuah kebutuhan hidupnya setiap hari.
“Mari kita lanjutkan pesta”. Kemerihan yang tak mungkin terlewatkan, garis wajah Nita yang menunjukan amarah menjadi sebuah perbedaan mendasar dengan wanita lain yang berhubungan dengan dia. Pikiran terkadar membawa dirinya kewajah itu, namun setiap didatang kembali dia minum dan berlabulah dia keadalam tak sadarnya.
Kepergian ayahnya tidak merubah banyak akan sikapnya, waktu yang berkurang yang memberi nuasa berbeda sebelum kepergian ayahnya. Setiap langka dia lakukan tanpa sepengetahuan orangtua, dengan penuh perhitungan tindakan itu tak perna melibatkan orangtuanya.
“Bagaiman Don, kamu betah tinggal disini”. Ustad Usman mengembalikan dia kedunia nyata, setelah hampir enam bulan dia berada pondok pesanter Al Hikmah. Seluruh waktunya dia gunakan untuk mempelajari ilmu agama dan berusaha membiarkan hati menjadi tenang.
“Apapun masalahmu aku melihat sebuah kebaikan didalam dirimu, dengan kebaikan itulah yang menyelamatkanmu dari segala mara bahaya”. Kebaikan, apa yang membuat Ustad Usman menggap dia baik, segala prilaku buruk dia terhadap wanita selama ini tidak dikategorikan sebagai perbuatan baik. Ditengah kesendirian setelah bertemu Ustad Usman kembali dia menjelajah masa lalunya menginggat perbuatan mana yang telah dilakukan yang dapat dikatakan baik.
Malam itu menjadi sangat tak biasa keluar sendiri, menelusuri daerah yang tak dia kenal. Mobilnya melaju dengan penal dan tak satupun desakan untuk menyetir dengan gebut dari dalam dirinya, daerah itu sepi dengan kendaraan. Dia memutar lagupun sangat pelan, dibiarkan terus nalurinya melewati daerah itu.
“Kenapa kamu dek”. Dia melihat seorang anak perempuan menagis dengan histerisnya, mobilnya diparkir dan dia turun. Sesekali dia mencoba melihat di sekeliling mengharap ada orang datang sehingga dia tak perlu lagi mendekati anak perempuan itu. Namun apa yang diharapkan tidak kunjung datang hingga dia disamping anak itu.
Dibalik tubuh munggil itu tergeletak seorang nenek dilumuri darah di seluruh mukannya, dengan sigap dia menbawa nenek itu kemobil dan menyuruh anak perempuan untuk mengikutinya, sepanjang perjalanan kerumah sakit dia melaju dengan sangat kecang hingga sampai dirumah sakit.
“Bagaimana dok dengannya”. Tangisan anak itulah yang menahan untuk langsung pergi, dia menemaninya hingga dokter keluar.
“Apa ada keluarganya”.
“Bukan Dok, ini cucunya”.
“Dia ingin bicara dengan anda”. Dengan penuh rasa heran dan penasaran dia menuju kamar nenek yang baru saja dia tolong. Entah apa yang akan terjadi, baginya semuanya sudah terlanjur terjadi. Memenuhi kenginan seorang nenek yang sedang sakit tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
“Den, maafkan saya merepotkan. Saya hanya minta tolong jaga cucu saya, saya tidak memiliki keluarga satupun disini. Semua kebaikan aden tidak dapat saya balas, saya hanya akan memohon pada Allah diakhir hayat saya ini memberihkan hidayah dan keselamatan pada aden”. Tak sempat dia menjawab dan menolak keinginannya, nenek itu telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Terjebak dalam sebuah permintaan dari seorang nenek yang telah meninggal adalah mimpi buruk, akhir yang tak diharapkan. Menanggung bocah bukan sebuah pekerjaan mudah, apalagi tidak ada sedikitpun tali persaudaraan. Penjelasan apa yang mengharuskan dia memenuhi permintaan itu, tidak ada satu orangpun yang akan menghakiminya.
“Maaf pak, nenek anda harus segera diuruskan surat kematian”. Dia terkaget ketikan harus menganggat HP dan ternyata telpon itu datang dari suster rumah sakit tempat dia meninggalkan nenek yang telah dia tolong tadi.
“oh baik lah”. Lama baru mampu menjawab telpon suster, merasa sangat jauh dia lari kenapa masih saja harus kembali, harus berurusan dengan nenek ini. Karna tak lagi mampu melarikan diri akhirnya dia mengurus semua kebutuhan hingga pemakaman. Amanah yang telah dia terima, dengan sedikit berat dia jalankan.
Penjelasan singat untuk orangtuanya tentang anak perempuan yang ternyata benama Alia, tiba-tiba saja terbesik. Dengan alasan bahwa Alia adalah koponakan supir temannya yang sedang mencari kerja karna orangtuanya sedang sakit.
“Dia bisa menemani ibu, Mira dan Wita sudah jarang dirumah”. Ibunya menurut saja dengan apa yang dikatakan dia, semua menjadi ringga setelah dijalankan. Pada hal sepanjang perjalan pulang dia telah menghabiskan tenaga dan energy banyak hanya untuk memikirkan apa yang harus dikatakan pada ibunya.
Tanpa disadari setelah beberapa bulan, dia mulai merasakan sebuah perubahan yang sangat aneh. Sikap dan perbuatan mulai berubah, rasa malas dan enggan untuk memenuhi hasrat dan nafsu untuk bergaul serta pesta dengan temannya meladahnya.
Penderitaannya bertambah berat ketika mimpi-mimpi buru mulai menemaninya, hampir setiap malam datang mengusik. Sejak saat itulah kegundahan hatinya mulai terusik untuk menjadi lebih baik, sekuat tenaga dia mencoba untuk melangkah dan pergi kembali menemui teman-teman pestanya, tapi selalu saja gagal.
Sekarang baru dia sadari, apa yang dilakukannya untuk nenek dan Alia lah yang menyadarkan dia. Akhirnya dia berada di tempat yang memberikan begitu banyak pelajaran hidup sesuai hakekat dia diciptakan.
“Tuhan terima kasih”. Rasa syukur yang tak habis-habis di ungkapkan dengan ucapan dan perbuatan kepada tuhan karna telah menyadarkan dirinya untuk kembali menjadi manusia, bukan manusai yang tak menyadari akan hakekatnya dibumi. Melakukan perbuatan yang hanya merugikan dirinya sendiri.
Kepulangannya disambut dengan tangis dan rasa syukur yang amat mendalam dia dapatkan dari ibunya, sesampainya dirumah dia cerita semua yang telah dialami kepada ibunya. Dibalik itu semua, selama ini sebenarnya ibunya sangat tahu apa yang dilakukan anaknya. Ibunya tidak mampu berbuat apa, hanya dia tahu dan bisa dilakukan adalah hanya berdoa kepada tuhan supaya anaknya mendapatkan hidayah dan kebaikan………………….

KETIKA AMBISI ITU HILANG

Kehidupan ini jauh dari harapan yang salama ini dibayangkannya, kerja keras dan pengorbanan yang dilakukan selama ini menjadi tak berharga lagi. Semua telah dia korbankan untuk meraih sukses dalam karirnya.
“Kamu di pecat”. Suara itu selalu terbesik diingatannya, bagai sebuah kilat yang menyambar dikala siang hari. Kesalahan yang tak dapat dimaafkan, adalah alasan yang kuat sehingga dia harus menerima keputusan pemecatan ini.
Kemalangan dari sebuah takdir, entah bagaimana peristiwa itu terjadi. Kehadirannya seolah menjadi sebuah akhir yang tak dapat dihindari, keputusannya untuk mengambil uang di ATM pada malam hari tanpa pengawalan, adalah sebuah keputusan yang mengakibatkan dia terhipnotis sehingga uang perusahaan yang akan digunakan untuk mengaji karyawan hilang tak berbekas.
“Malinggggggggggggggggg”. Ketika dia sadar, hanya kata maling yang terbesik. Teriakan demi teriakan mewarnai setiap pertanyaan yang datang padanya, tubuhnya lunglai tak berdaya.
“Kemana malingnya bu”. Terkadang dia dapat mendengar sebagian dari pertanyaan orang-orang yang datang setelah dia berteriak maling. Namun sekian banyak pertanyaan yang datang itu tidak mampu dia jawab.
Sejauh dan sebanyak apapun orang mengejar maling itu, hasilnya adalah sebuah kekecewaan. Tanpa disadari dia terhipnotis cukup lama, sehingga apa yang dilakukan oleh orang-orang itu hanya sebuah pekerjaan yang sia-sia.
Entah kekuatan dari mana yang datang sehingga akhirnya dia berhasil berada dirumah, wajahnya yang pucat pasing membuah keluarganya kebingungan. Kembali dia harus menerima serbuan pertanyaan, dari pertanyaan-pertanyaan yang datang kadang terdengar olehnya, namun entah kenapa dia tak sedikitpun mampu mengeluarkan suara untuk menjawabnya.
“Biarkan Mira istirahat bu, mungkin dikantornya banyak pekerjaan sehingga dia sangat kelelahan”. Pernyataan bapaknya itu yang meloloskan dirinya dari serbuan pertanyaan, sehingga dia dapat merebahkan tubuhnya di kamar.
Dibalik dinding kamar Mira, terbesik keheranan dari keluargannya. Bergantian ayah dan ibunya bertanya dan memcoba menebak apa yang terjadi pada Mira. Namun mereka hanya dapat mengira-gira dengan keadaan itu.
“Mungkin Mira sedang putus dengan pacarnya kali bu, makanya dia hanya diam”.
“Selama ini, ibu tidak perna mendengar Mira pacaran pak. Mira hanya perduli pada karirnya”. Kembali mereka berfikir dan mengira apa yang sedang Mira rasakan. Mereka tidak mau menganggu Mira yang sedang istirahat, apalagi melihat kodisinya yang sangat lemas.
Sepanjang malam dia lewati dengan banyak pergulatan, berbagai macam dia coba pikirkan untuk menyelesaikan persoalannya. Disela himpitan dan pergulatan perasaannya dia sadar harus memikirkan jalan keluar yang tepat untuk menyelesaikan semua ini.
Tak puas bepikir dengan berbaring, dia bangun dan berjalan mondar-mandir, berputar, duduk, lalu berbaring lagi. Tak satupun jawaban yang dia peroleh, keadaan diperburuk lagi dengan munculnya rasa sakit yang luar biasa dari kepalanya, membuat perasaannya semakin kacau hingga yang tersisa tetesan demi tetesan air mata yang membanjiri wajahnya.
“Tuhan aku datang dengan luka yang sangat dalam, selama aku sehat aku tak perna datang untuk bersyukur atas nikmat-Mu”. Sepanjang malam berbagai macam doa diucapkan hingga dia terlelap dalam tidurnya.
Ketika matahari mulai muncul dia terbangun, entah mengapa hari itu begitu ringan untuk bangun dan menjalankan sholat subuh, biasannya dia bangun lansung mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kekantor.
“Ya….Allah, apa yang sedang aku rasakan ini adalah sebuah cerita yang menjadi bagian hidup yang harus aku terima, aku tidak menyesali datangnya. Semua telah aku lakukan untuk mengapai posisi manager keuangan dalam karirku sehingga aku lupa akan takdir dan kendak-MU”. Panjang dia ucapkan doa, hingga diapun tak sadar hari sudah mulai pagi dan orang sudah bersiap-siap menjalankan harinya.
Pada saat terbangun dari duduknya itu, entah datang dari mana kekuatan untuk menyakini bahwa dia harus datang kekantonya dan mengungkapkan apa yang telah terjadi padanya. Langkahnya ringga tanpa beban, pikirannya menjadi segar, penuh dengan persangkaan yang positif. Bahkan dia mampu menghadapi orang tuanya yang mengisaratkan tanda tanya diwajahnya dengan sebuah senyum yang mampu member isarat bahwa dia baik-baik saja.
Setelah semua hal telah dia hadapi, berbagai proses telah dilakukan. Keputusan akhir dari perusahaannya adalah apa yang sekarang dia rasakan. Hidupnya berada pada titik nol kembali, semua harapan masa depan yang dikhayalkan dengan bekerja diperusahaan ini telah lenyap, hilang tak berbekas.
“Ibu senang sekali melihatmu dirumah, ibu merasa kamu terlahir kembali”. Senyum ibunya seakan menyadarkan bahwa dia berada dirumah bukan disebuah kantor yang dipenuhi tumpukan kerjaan yang harus dia selesaikan.
“Selama ini, kamu begitu sibuk sehingga jarang dirumah. Ibu hanya melihatmu pagi hari pada saat kamu berangkat kekantor”. Pernyataan ibunya membawa dia pada masa lalu, setiap harinya selalu dia lewatkan untuk kerjaan dan menghibur diri dengan teman-temannya.
Hari liburnya dia gunakan untuk istirahat total, dia tidur sampai siang lalu sorenya dia pergi ke mall untuk mempersiapkan kebutuhannya selama seminggu. Hampir setiap hari dia tak perna mengajak orang tuanya hadir dalam kehidupan, padahal setiap harinya mereka hidup bersama.
Apa yang terjadi sekarang seakan membawanya pada sebuah titik yang tak perna dia bayangkan, berada dirumah sepanjang hari, membiarkan waktu berlalu tanpa berbuat apa-apa. Hidup yang tak lagi dipenuhi ambisi.
“Apa rencana mu Mir?”.
“Mira belum bisa memikirkan apa-apa bu, tenaga Mira seakan sudah habis”.
“Ibu akan selalu mendukung apapun keputusanmu. Harapan ibu, kamu mulailah membuka kembali lembaran baru hidupmu, jangan sampai terpuruk dan kehilangan gairah untuk kembali”.
“Apa ibu nda malu sama tetangga, lihat Mira nda kerja lagi”.
“Kenapa harus mendengarkan orang lain, hidup yang kita jalankan akan lebih baik jika kita tata dengan pemikiran dan remcana yang baik dari diri kita sendiri”. Panjang lebar ibu memberikan nasehat atau pengarahan atau apapun namanya, dia dengarkan dengan penuh perhatian. Lama sudah dia kehilangan momen ini, hidupnya telah dia arahkan untuk jauh dari keluargannya.
Hidup dengan pemikirannya sendiri, itu adalah sebuah pilihan yang telah dia ambil sejak mulai tumbuh remaja. Masa SMA yang penuh dengan gejolak membuat dia mulai berpikir dan memilih sendiri untuk hidupnya, sedikit demi sedikit dia mulai membangun benteng sendiri dalam dirinya untuk menghalau setiap pemikiran dan nasehat orang tuanya.
Waktu terus berlalu, dia mulai jauh meninggalkan kehidupan normalnya untuk bergantung pada orang tua, memilih bekerja setelah lulus SMA sambil kuliah. Sejak saat itulah tumbuh ambisi-ambisi untuk memdapatkan kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan kepuasan.
Sehingga tolak ukur dari kebahagian yang dia bangun adalah melewati hari dengan menikmati waktu dengan datang ketempat-tempat yang memberikan kesenangan sesaat, tempat yang dia lalui dengan teman-teman untuk menghilangkan kejenuhan dan rasa tertekan dalam menghadapi hidup. Tolak ukur dari kepuasan adalah bagaimana dia mampu meraih sukses dalam karirnya.
“Hebat kamu Mir, kamu akhirnya menjadi seorang manager”. Pujian yang datang dari Olivia seolah menjadi sebuah penghargaan yang memberikan kepuasan tersendiri. Dia mampu mencapai posisi yang lebih baik dari teman-temannya. Pujianpun datang bergantian dari teman-temannya, kemeriahan malam perayaan kenaikan jabatannya itu menjadi sempurna.
“Aku yakin sastri juga bisa mendapatkannya. Cukup mencolek pak Bimbing, besok langsung keluar surat kenaikan pangkat mu”. Lelucun itu ikut memeriahkan suasana yang tak mampu dihindari, kegaduhan akibat terikan yang silih berganti datang tak lebas dari pengaruh dari tegukan-tegukan minuman yang membuat mereka mabuk.
“Kalau gitu aku aja deh yang colek pak Bimbing, kalau perlu dia boleh deh nginap di kos aku”. Pernyataan Nita disambut dengan sorakan dan ketawa dari mereka. Malam terus berlalu hingga larut.
Bayangan masa lalu itu datang kembali pada kehidupannya, sekarang dia melewati harinya dengan penuh kepasrahan. Dia tidak mampu lagi bangkit untuk mempercayai bahwa dia akan mampu mendapatkan pekerjaan lagi, kegelisahan itu datang seiring dengan kondisi ekonomi negeri semakin tak menentu.
Setiap harinya, dia selalu mandapat informasi di koran, bahwa banyak perusahaan yang melakukan PHK pada karyawannya karna krisis ekonomi. Walau pikiran positif telah coba dia bangun untuk memberi semangat agar dirinya bangkit lagi dan memulai untuk melamar pekerjaan, tetap saja ada sisi lain yang membuat dia kembali tidak yakin akan apa yang dia ingin lakukan.
“Tante Miraaaaaa, Nisa juara satu loh disekolah”. Bidadari itu seolah memberikan senyum yang sangat manis, senyum yang tak perna dia lihat atau dia lewatkan selama ini. Kehadiran Nisa memnyadarkan dia, bahwa selama ini telalu jauh keluar dari kehidupan keluarganya.
Harinya seakan tak habis oleh urusannya sendiri, terkadang untuk menghidar dari keluarganya dia memilih untuk kos. Semua dia lakukan untuk memenuhi ambisi dan pola pikir yang mengangap bahwa sebuah kesuksesan seorang wanita adalah bagaimana dia mampu mandiri dengan kekuatannya sendiri.
Sehingga untuk menghidar dari segala pemahaman yang tidak sejalan dari saudara-saudaranya dia memilih kos, untuk memuluskan rencana itu dia mampu membujuk orangtuanya dengan mengatakan banyak pekerjaan di kantor sangat banyak sehingga tiap hari harus pulang larut. Dengan alasan untuk menghidar dari ngunjingan tetangga yang tidak-tidak dia mampu mendapatkan ijin itu.
Namun sejauh apapun dia mencoba untuk menghindar dari keluarganya, terkadang dia kembali. Ada sebuah perasaan kosong yang dia rasakan, rasa takut, rasa sepi dan sejuta perasaan yang tak mampu inditifikasi yang membuatnya kembali kerumah. Kehidupannya terus berputar pada keadaan yang sama, tanpa perna mengambil jalan keluar yang benar untuk menghadapinya.
“Selama Nisa libur, kita semua mau nginap disini loh tante”.
“Oh ya, bagus dong, rumah jadi rame….”.
“Tante ikut libur ya, biar Nisa ada temannya. Soalnya papa ama mama tetap kerja”. Hanya senyum yang mampu dia lakukan untuk membalas pernyataan keponakannya. Dalam hatinya dia senang karna tak perlu menjelaskan mengapa setiap hari selalu berada dirumah.
Pancaran rasa senang yang ditankap dari rauk wajah dan tindakan ponakannya, seolah-olah senyumannya itu telah memberikan jawaban iya untuk pertanyaan ponakannya. Keceria yang hadir adalah sebuah hal baru yang dia rasakan, entah sudah berapa tahun dia seakan hilang dari keluargannya, sehingga dia tak sadar bahwa Nisa yang dulu kecil telah besar dan mampu memberikan nuasa baru dalam kehidupan.
“Dimas juga mau kesini loh tante”. Dimas nama itu hadir, namun tak disadari bahwa itu adalah keponakan dari kak Andi yang dua tahun lalu menikah. Semakin dalam dia mencoba membawa dirinya untuk kembali sadar bahwa dia telah begitu jauh pergi dan tak perduli dari kehidupan keluargannya.
“Dimas udah bisa jalan loh tante, tapi belum bisa ngomong. Gimana kalau selama Nisa libur kita ajarin”. Kembali dia hanya dapat tersenyum, entah apa yang telah membuat dia kehilangan kata-kata untuk menjawab setiap pertanyaan yang datang dari Nisa.
Hari bergulir dengan cepatnya, membuat dia sadar bahwa ketidak mampu untuk melewati hari dengan menjadi seorang ibu rumah tangga yang selalu berada dirumah dan melewati hari hanya untuk menunggu suami dan anak pulang adalah salah. Selama ini yang dia pikirkan bahwa setelah sukses menjadi wanita karir baru memikirkan untuk menikah, sehingga seluruh urusan rumah tangga tinggal serahkan pada pembantu.
Dengan karir yang sukses, suami nantinya tidak akan bertindak semaunya, karna merasa dialah yang mencari nafkah untuk kehidupan semua keluargannya. Dan beribu alasan lain yang dia ciptakan untuk menyakinikan dirinya bahwa dia tidak akan menikah diusia muda.
Perputaran waktu kembali terjadi sehingga dia tak sadar bahwa hampir sebulan dia lewatkan waktu dengan keluarganya. Ditengah perputaran itu, dia merasakan bahagia dengan segala kelucuan yang Nisa dan Dimas hadirkan. Perasaan itu berbeda dengan apa yang perna dia rasakan dengan teman-temannya.
Kebahagian yang tak harus dibayar dengan mentraktir orang, kebahagia yang hanya dirasakan dengan sadar, karna kebahagia dan tawa yang dia dan teman-teman lakukan hadir karna mereka mabuk. Sehingga besoknya ketika pekerjaan menumpuk diatas meja, kembali perasaan lelah dan letih hinggap, sehingga mengarah pada kebosanan akut akan keadaan.
Pada kenyataannya sebuah kebahagian itu hadir bukan dicari, tapi hadir dengan sebuah kebersamaan. Ketakutan yang berlebihan membawa pada pola pikir yang selalu mengbenarkan perilaku untuk menghidar dari keadaanya itu.
Segala kemesraan, tawa, percakapan akan membangun rasa saling sayang di tengah keluarga, perasaan itu tumbuh berkembang ditengah pergulatan diskusi panjang pada saat berkumpul. Pada saat itu hadir sebuah perasaan yang mendalam dalam batinnya, kemarahan yang dulu sering hadir ketika didesak untuk menikah, kini tidak lagi membara dalam pikiran dan hati. Segala sesuatu hal yang dibicarakan tentangnya selalu dia hadapi dengan tenang dan selalu tersenyum.
“Mir, kapan kamu akan menikah”. Untuk sekian kalinya dia kembali mendapatkan pertanyaan itu dari kakak iparnya, namun kembali dia memberikan alasan yang seadanya. Ditengah perubahan itu semua kembali dia memcoba memikirkan sebuah rongga kosong hatinya.
Hingga pada suatu hari dia merasa sangat sepi, kesepian yang tak dapat diobati dengan teriakan, canda tawa, tangisan Nisa dan Dimas. Semakin mereka membuat keributan semakin terasa kosong, sepanjang hari dia mencoba berpikir apa yang kurang dari hidupnya.
Ambisinya terhadap kemapanan dengan kerja keras dan karir yang bagus, tak lagi memberikan energy dan sinyal yang kuat untuk meraihnya. Hatinya terasa hampa, ketakutan, kelelahan tanpa berbuat apa-apa.
Perubahan lain yang sangat mengejutkan bagi orangtuanya, dia kembali menata hidupnya pada sebuah tatanan keagamanya benar. Setiap harinya tak satu waktu sholatpun dia lewatkan, ditambah dengan puasa senin kamis selalu dijalankan. Sehingga kedewasaan bertindak dan berpikir mulai mengarah pada pola yang sama dengan orang tuanya.
Hingga pada suatu malam ketika dia berbaring setelah melakukan sholat isyah, hatinya tiba-tiba memberikan sebuah isyarat kematapan untuk melakukan sebuah kenyataan yang selama ini dia hindari. Menikah adalah sebuah kenyataan yang harus dijalan oleh perempuan.
Bahwa kehidupan seorang perempuan tidak harus mengejar materi untuk mendapatkan sebuah kepuasan dalam hidup, itu adalah sebuah kebenaran yang patut dipercaya, karna pada dasarnya perempuan memiliki naluri kasih sayang yang kuat terhadap seorang anak. Sehingga naluri itu harus diberi wadah agar tidak terjadi penyimpangan dalam hidupnya.
Seiring dengan berlalu dan bergantinya hari, dia terus memperbesar keyakinannya itu. Keyakinan itu telah membuatnya mampu berbuat sebuah tindakan, kembali dia melihat data-data teman-teman lama yang mungkin memberikan sebuah titik yang akan melahirkan sebuah tanda bahwa dia telah ditentukan sebagai pasangan hidupnya.
“Lit, aku mau nikah”.
“Nikah? Dengan siapa”.
“Belum tahu ama siapa, sekarang aja masih nyari”.
“Hahahahaha”. Dia tak perna merasa semantap ini untuk berniat menikah, bahkan diketawai oleh teman baiknya pun tak membuatnya malu dan gentar akan niatnya itu.
“Kayanya kamu stress akibat dipecat deh. Mau nikah tapi belum tahu siapa calonnya, kamu gila. Hahahaha”.
“Makanya kita bertemu disini, aku mau minta tolong sama kamu. Namanya juga usaha”.
Selang beberapa hari dari pertemuannya dengan Lita, dia mendapat kabar bahwa Lita akan memperkenalkan seseorang. Orang yang dimaksud Lita tidak lain adalah keluarganya sendiri, dengan keseriusannya itu dia mampu melakukan apapun untuk berusaha agar ada jalan untuk mewujudkan kemauannya itu.
“Hai, aku Bambang saudaranya Lita”. Setelah berkenalan lewat telepon akhirnya mereka janjian bertemu. Pertemuan itu memberikan harapan untuk dia, karna orang yang dikenalkan Lita tak jauh dari kriterian pria yang dia inginkan.
“Aku Mira”. Pada awalnya terasa sangat kaku, sudah lama dia tidak mengalami sebuah ritual pertemua yang dimanakan kencan. Selama ini waktunya selalu dihabiskan dengan tumpukan kerjaan dan have fan dengan teman-teman.
Perjalan singkat yang harus dilalui untuk menuju sebuah pernikahan tak mampu dimengerti oleh Bambang, baginya terlalu singkat dalam waktu tiga bulan berhubungan untuk menujuk pernikahan. Hingga perbauran cinta itu kandas, tekatnya yang bulat untuk menikah adalah sebuah keyakinan yang tak harus dipikirkan dengan logika.
Kemantapan itu tidak begitu saja muncul dengan sendirinya, perlu waktu dan rongga dalam diri hingga sampai pada keyakinan ini. Bukan sebuah nafsu yang dia rasakan tapi sebuah kemauan yang lahir dengan pedoman yang pasti yang telah didapat dengan mendekatkan diri padaTuhan.
Sebuah takdir yang tak dapat di sangka datangnya, hadir dengan kebenaran untuk dipikirkan, masuk melewati ruang-ruang dan batas-batas tak terhingga. Kedatangnya membuat orang tak lagi menggunakan akalnya untuk membenarkan dan menerimanya.
“Mir, masih ingat Sandi nda?”.
“Sandi?. kayanya ingat deh, diakan teman kerja kakak di perusahaan yang lama”.
“Ya. Dia melamarmu lewat kakak”.
Suasana terasa hening sejenak ketika pernyataan kak Andi muncul, dunia terasa berhenti berputar. Dia berada dibatas titik yang dalam, pikirannya mengarah pada sebuah wajah yang sering dia lihat, tapi tidak perna akrab. Perkenalannya berlalu begitu saja, tak memberikan bekas walau sudah dua tahun lebih dia mengenalnya.
“Hai, adiknya mas Andi ya?”.
“Ya”.
“Boleh minta tolong?, aku sedang buru-buru, pesawatku akan berangkat sebentar lagi sehingga aku nda bisa hadir diacara pernikahan mas Andi. Tolong berikan kado ini dan salam aku sama dia”.
Setelah seminggu acara itu berlalu dia kembali menemui orang yang telah memberinya kado, orang yang tanpa menyebutkan nama dan pergi begitu saja. Pada saat dia sedang jengkel, kelelahan tak dielakan, hal itu diperburuk ketika dia harus menghadapi orang yang dengan seenaknya menitipkan kado. Kejengkelan itu bertambah karna pada saat kado itu disampaikan ke kak Andi, dia harus menjelaskan fisik dari orang yang memberi kado tersebut hingga rasa penasaran kak Andi terjawab dengan menyebutkan bahwa orang itu bernama Sandi.
“Permisi, mas Andinya ada?”. Melihat wajah orang itu langsung ingatannya mengarah pada waktu pernikahan kak Andi. Tanpa mengatakan apa-apa, dia langsung memanggil kak Andi. Ketika dia melihat orang yang dipanggil muncul dia pergi begitu saja.
Tak ada yang berkesan dari pertemuan-pertemuan selanjutnya, perkenalan itu tak perna membawanya pada sebuah hubungan. Dia hanya menganggap Sandi adalah teman kakaknya yang terkadang ketemu dirumah dan berlalu begitu saja.
“Gimana Mir, Kakak harus jawab apa sama Sandi”.
“Biarkan Mira menjawab sendiri sama Sandi”. Kak Andi setuju dengan keinginannya, setelah itu nomor HP Sandipun dia peroleh. Kenyataan ini tidak begitu saja mulus berjalan, entah kenapa hatinya memberikan rasa yang mengarah pada sebuah pertanyaan kembali akan keinginannya untuk menikah dengan segera.
“Aku mengenalmu sudah lama, sehingga aku yakin dengan lamaranku”.
“Sandi, sejak kapan perasaan mu berubah terhadapku”.
“Aku melihatmu, lalu mengenalmu lewat Mas Andi. setiap aku datang kerumahmu, kamu selalu sibuk tak dan jarang dirumah, sekalinya kamu ada, kamu tak perna mau membuka diri terhadap aku”.
“Apa yang kamu harapkan dengan wanita seperti itu untuk mendampingimu”.
“Aku yakin kamu orangnya baik, itu semua bukan hanya pujian gombal untuk mendapatkan mu. Tapi sebuah pembuktian dari kehidupan keluargamu, dan akhir-akhir ini aku memperhatikan ada sebuah perubahan besar dari sikap kamu”.
“Perubahan dalam waktu singkat tidak akan menjamin orang itu akan memberikan hal positif selamanya”.
“Apapun itu, aku tetap yakin bahwa aku tidak salah untuk memilih kamu”.
Pertanyaan itu seolah sebuah kunci yang dia ciptakan untuk menyakini diri agar mampu membuka gerbang hatinya, membiarkan getaran cinta mulai tumbuh. Perjalan cinta ini dia coba biarkan, agar mampu membawa dia pada sebuah keputusan yang benar sehingga tidak disesali kemudia hari.
Setelah pertemua pertama itu memberi kesan yang baik, berlanjut pada sekian banyak waktu telah disisihkan untuk terus saling mengenal, membuka diri, membiarkan segala keraguan lenyap dengan saling mengenal lebih banyak.
Terkadang orang percaya bahwa cinta pada pandangan pertama ada, namun ada sebagian orang memandang bahwa cinta yang hadir pada cinta pertama itu, sebuah takdir yang diberi nama jodoh yang telah datang dari tuhan.
“Kak Lisa yakin Sandi itu jodohmu Mir, dia sering datang kerumah, gobrol banyak dengan Mas Andi. kakak melihat dia orangnya sangat baik dan sopan”. Dia menemukan orang yang percaya bahwa sebuah cinta yang datang pada waktu singkat adalah sebuah jodoh yang menjadi takdir, keyakinan kak Lisa di dukung oleh pernyataan ibunya yang ikut mendukung hubungan ini.
“Ibu menyerahkannya semua keputusan pada Mir. Sebagai orang tua ibu hanya bisa berharap kamu segera menikah, sehingga ibu bisa merasakan bahagia karna telah membawa dan mendidik kalia sampai pada sebuah kehidupan berkeluarga sendiri”. Masih panjang yang harus dia dengarkan, yang pada intinya mengarahkan dia untuk mengambil keputusan menikah secepatnya.
Orang tua akan merasa bahwa kehidupannya telah berhasil ketika semua anaknya memiliki keluarga, mereka mengatakan dengan menikahkan anak-anaknya kewajibannya sebagai orang tua telah selesai, bila akhirnya mereka dipanggil oleh tuhan, mereka akan sangat bangga untuk menghadap.
Pemikiran itu telah lama dia dengar, dalam keadaan yang labil yang masih dipenuh dengan ambisi untuk menjadi kuat dan mandiri, hal itu dianggap olehnya sebagai sikap yang egois dari orang tua. Sehingga desakan orang tua untuk menikah pada usai muda adalah sebuah sikap ingin cepat lepas tanggujawab orang tua terhadap anaknya.
Pada kenyataan perubahan yang dialaminya selama ini, telah memberikan pemahaman baru. Bahwa tidak semua orangtua akan bersikap demikian, mereka selalu memikirkan masa depan anaknya dengan kemampuan yang mereka miliki. Perbedaan pandangan hidup dan perbedaan ilmu serta informasi yang membawa batas pada kemesraan hubungan antara orangtua dengan anaknya.
Berbagai hal telah mewarnai kehidupannya akhir-akhir ini, warna yang hadir begitu banyak. Setiap harinya selalu memberi nuasa yang berbeda, pergolatan hati yang berakhir dengan sebuah keputusan besar untuk mau dan menerima semua kenyata dengan mencoba lebih membuka diri dengan pandanga dan pendapat orang lain, sehingga mampu menghasilkan keputusan yang benar, kebenaran itu selalu diperkuat dengan membawa diri untuk selalu mengkaji setiap masalah dengan mengembangkan logika berfikir yang lebih terbuka.
“Ya Sandi aku mau menikah dengan kamu”. Sandi memeluknya dengan raut wajah merona penuh bahagia, akhir dari pertemuan yang indah. Setelah mantap dengan keputusannya, dia membuat pertemuan dengan Sandi…………………………….

04 Februari, 2010

HIDUP ITU BERUNTUNG

Cerita ini di mulai ketika aku tak mampu lagi berpikir kearah mana kehidupan akan mengarah, semua menjadi salah, tak memiliki energy, kehilangan kendali. Aku tidak menyakini bahwa ini hadir dan menjadi takdir.
“Santi adalah nama yang memberikan keberuntungan, tinggal kamu sendiri memaknai setiap gejala alam yang kamu alami menjadi sebuah pedoma mengambil keputusan dan yakinlah itu keberuntunganmu”. Itu adalah sebuah ramalan yang aku terima ketika nenek tua yang tinggal dipigir kampung tempat aku dilahirkan.
Mulai aku membawa hidupku pada sebuah pertarungan untuk selalu menyakini setiap keberuntunganku. Semua menjadi nyata ketika itu telah membawaku pada titik yang sesuai dengan apa yang aku inginkan. Lalu apa yang membuatku resah, itulah kebenaran tak mampuku jawab.
“Ayo lah Santi, aku yakin kamu akan mampu memdapatkan perhatian pak Bono. Kalau kamu berhasil, maka karirmu akan meroket dengan tajam”.
“Aku rasa ini tidak akan berhasil, pak Bono tidak perna memberikan peluang pada karya yang idenya tidak sesuai dengan pemikiran dasarnya, dan aku berbeda dengannya”. Desakan Mita untuk ikut bagian pada proyek kreatif pak Bono selalu mewarnai hariku, hampir tak perna lelah dia membujukku.
“Kamu adalah orang yang berbakat, dengan mengambil peluang ini aku yakin kamu akan mendapat posisi yang bagus di kantor ini”.
“Kali ini aku tidak menemukan tanda-tanda bahwa aku akan berhasil”.
“Santi mulailah bangun dan yakin bahwa keberhasilanmu selama ini bukan karna keberuntunganmu tapi kamu sangat berbakat di bidang ini”.
“Sudah Mit, aku nda akan ikut seleksi proyek ini”.
Setelah apa yang Mita katakan membuat aku terusik, memikirkan bahwa selama ini kehidupan telah ku arahkan untuk selalu tergantung tanda-tanda yang ku anggap akan membawa pada sebuah keberuntungan.
“Gejala alam tidak selamanya mampu kita baca, terkadang kejeliannya menyembunyikan kenyataan membuat kita ragu, sehingga pada waktu terjepit harus mengambil keputusan yang salah”.
“Apa maksud kamu Mit”. Perjalanan pulang itu menjadi sangat hening, hanya beberapa kata yang membuat kami kembali cair. Terkadang untuk menutupi kebekuan itu Mita melajukan mobil dengan kencang.
“Kita berteman sudah lama, aku tahu kamu selalu tergantung pada firasatmu”. Aku tersentak dan kaget.
“Ayolah San, bangun dan sadarlah bahwa selama ini kamu berbakat bukan karna sebuah keberuntungan”. Aku hanya dapat menatapnya sekilas, aku merasa sebuah rahasia ku telah terbongkar oleh Mita.
“Tidak selamanya kamu mampu tergantung pada firasat dan membiarkan peluang untuk mengapai keberhasilan dengan bakatmu lewat begitu saja”. Aku masih terpaku hingga tak mampu menjawab atas semua pernyataan Mita.
Aku membawa jauh diriku pada sebuah rentetan cerita masa lalu, semua sekan kembali. Sehingga apa yang Mita katakan tak perna mampu aku tanggapi, melihat apa yang aku lakukan membuat Mita dia. Kebekuan itu terjadi hingga kami sampai kerumah.
Kegelisahan itu membuat aku kembali berpikir, selama ini aku tak perna yakin akan kemampuanku sendiri. Apa yang aku lakukan dalam pekerjaan adalah hanya menuruti kemauan orang dan menyakini bahwa apa yang telah ku lakukan dan dapatkan karna aku orang yang selalu beruntung.
“Aku Mita, baru dipindahkan ke departemen ini”.
“Santi”. Awal perkenalan yang berujung pada sebuah pertemanan yang sangat akrab, kami seakan dipertemukan oleh takdir sehingga mampu menyusuaikan diri dengan cepat.
Semua hal kami lakukan bersama, kami berada di satu team. Kebersamaan kami tidak hanya dilakukan di kantor saja. Kami bahkan memilih hidup dalam satu tempat tinggal, membiarkan seluruh kehidupan kami terbongkar dengan pelan dan pasti bahwa akhirnya kami saling tahu semua kehidupan satu sama lain.
Kehidupan percintaanku pun tak perna lewat oleh Mita, segala pertimbangan dalam mengambil keputusan selalu dia berperan besar. Bahkan ketikan harus menolak lamaran Bambang, hubungan kami baik-baik saja. Hingga akhirnya Bambang mengutarakan ingin melamarku.
“Mit, hari ini aku senang sekali”.
“Kamu dapat kuis berhadia ratusan juta ya?”.
“Jaminan seumur hidup”.
“Waoooooooooo, kuis apatuh yang dapat sebanyak itu”.
“Bambang melamarku”. Tiba-tiba raut wajah Mita berubah, kegembiran itu hilang berganti menjadi sebuah kegelisahan yang sangat tajam. Isyarat matanya menunjukan rasa sakit yang sangat tajam, rasa itu mampu membuatku iba hingga tak mampu berkata apa-apa.
Harapan untuk mendapatkan energy bahagia dari seorang sahabat telah lenyap, aku malah merasakan sebuah kesedihan, amarah, dan berjuta perasaan lain yang tak memberikan terjemahan dalam kata.
Sejak saat itu Mita menunjukan kebekuan yang tak mampu di cairkan oleh berbagai macam lelucun yang coba aku lakukan. Rasa penasaran itu semakin mendalam dan membesar hingga aku tak mampu lagi membendungnya dengan membiarkan Mita terdiam.
“Apa arti semua sikapmu Mit?. Apa ini berhubungan dengan lamaran Bambang”. Pada awalnya dia terus menghindar, namun desakanku membuat dia terpojok.
“Bambang tak cukup baik untuk kamu”. Petir terasa menyambar, membuat getaran jantung berpacu dengan cepat. Aliran darahku seakan terus mengali dengan buru-buru keotak, sesampainya disana membuat gejala yang menyesakkan.
Percakapan itu terhenti sejenak ketika Olivia datang membawa setumpuk pekerjaan yang harus di selesaikan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.
“Ibu Claudia membutuhkannya untuk rapat nanti sore”. Olivia seakan tak perduli dengan expresi wajah kami yang penuh dengan ketegangan.
“Oh ya, kalian ikut dalam rapat nanti”. Kami bagai robot, dengan cepat tumpukan kerjaan itu mulai kami kerjakan setelah diperintahkan.
Kami mulai dengan kesibukan masing-masing, perasaan kalut masih menghantui hatiku. Namun apa yang bisa dilakukan, masa depan karirku tak mungkin aku biarkan hancur karna kekalutan hati, pekerjaan adalah hal utama yang harus di beri ruang yang besar dalam kehidupan.
Setelah rapat selesai sederet jadwal pekerja mulai tersusun, proyek ini telah membawa aku terus melewatkan setiap harinya dengan konsentrasi penuh pada pekerjaan. Tidak hanya aku yang larut dengan pekerjaan, Mitapun demikian. Walau kami satu rumah, kelelahan telah membawa kami pada situasi yang sangat renggang.
“Saya senang dengan hasil kerja kalian, dalam sebulan ini kali telah bekerja keras. Lihatlah hasilnya kita mampu memberi kepuasan pada klain”. Pujian yang diberikan ibu Claudia telah mengakhiri kelelahan sementara dari pekerjaan.
“Kita akan rayakan dengan pesta kecil dicafe biasanya”. Raut wajah bahagia merona diwajah kami, kelelahan seolah sedikit terobati dengan perayaan manis yang telah menunggu.
Ketika kami sampai dicape kami asik dengan cerita dan lelucun ringan yang membawa kami melupakan sementara rutinitas yang selalu menemani setiap harinya. Canda tawa terus mewarnai malam yang ditemani dengan minuman yang membawa kami terbang masuk kealam kebahagia semu yang orang sering bilang mabuk alcohol.
“Hasilnya luar biasa Santi, design kamu sangat membantu dalam warna kreatif dalam proyek kita ini”. Pujian itu datang begitu saja dari ibu Claudia. Namun apa yang mampu dicerna dengan makna yang dalam ketika kita keadaan mabuk.
“Betul sekali, dengan design itu membuat pekerjaanku jadi lebih mudah”. Nana pun ikut memberikan sebuah angin surga yang sangat mampu membuat bangga di tengah orang yang tak perna terlalu peduli dengan bakatnya, yang mereka tahu bahwa kerja adalah kerja.
Ketika pesta telah selesai yang tersisa adalah rasa sepi, berpisah dengan orang-orang yang telah memberikan nuasa bahagia. Besoknya kami kembali pada rutinitas memberikan nuasa pada setiap tumpukan kerta diatas meja masing-masing.
“Santi sudah sebulan lebih kamu mengantungkan lamaranku”. Kembali Bambang mendesak agar memberikan jawaban atas lamarannya, kesibukanku mampu membuat Bambang mengerti dan mau menunggu hingga proyek yang melelahkan itu selesai.
“Aku tahu proyekmu telah selesai, setidaknya ada waktu untukku memperoleh jawaban kamu”. Makan malam menjadi hambar ketika aku masih tak mampu menjawab pertanyaan Bambang, aku teringat sikap Mita terhadap kabar lamaran ini.
“San, aku perlu jawabanmu. Kita sudah hampir setahun pacaran, dan aku kira perjalanan cinta kita harus diberi ruang kejenjang pernikahan”. Melihat sikapku yang selalu diam, membuat Bambang kesal dan mengakhiri makan malam itu dengan emosi pergi meninggalkannya aku yang masih terdiam.
Pada saat aku sadar akupun pulang, entah apa yang membuatku ragu untuk menjawab ya terhadap lamaran itu. Perasaan kalutlah yang membuat mulutku bungkam seribuh basah, terasa sagat berat untuk membuka mulut dan mengatakan sesuatu pada malam itu. Hingga akhirnya aku memilih pulang masih dalam keadaan kalut.
“Aku minta jawaban kamu terhadap sikap dinginmu selama ini. Kenapa dengan Bambang, hubungan kami baik-baik saja selama ini. Kamu tak perna keberatan atas hubungan ini”. Emosi itu tiba-tiba membakar seluruh rasaku, hadir ketika aku melihat Mita yang duduk didepan televise sesampai dirumah.
“Apa yang tak cukup baik dari Bambang sehingga aku harus menolak lamarannya, apa yang aku tidak tahu mengenai dia?”. Mita bangun dari tempat duduknya, ada sebuah emosi yang sangat kuat datang dari arahnya.
“Menikah bukan sebuah keputusan yang tepat untuk kamu sekarang, bakatmu akan mampu membawamu pada sebuah kesuksesan. Aku tidak mau itu semua hancur karna kamu menikah”.
“Kamu salah menilai aku, aku tidak memiliki kemampu yang sebesar itu. Selama ini aku hanya mengandalkan kemampuan pas-pas dan mendapatkan keberuntungan sehingga mereka masih mempekerjakan aku”.
“Aku tahu Bambang orang yang tidak terlalu suka istri yang penuh ambisi dengan karir, tapi aku senang karna aku bekerja selama ini untuk mempertahankan hidup”.
“Kamu hanya takut, kamu pengecut”. Akhir dari perdebatan itu, Mita meninggalkan aku. Pintu kamarnya dibanting dan terdengar suara kunci yang dipaksakan bekerja dengan kasar.
Hubungan kami kembali berlanjut beku, membiarkan waktu lewat tanpa saling bertegur sapa. Sepanjang hari kami membiarkan lewat dengan pekerjaan masing. Tidak ada lagi saling menebar senyum, saling mengejek dan segalam macam aktivitas yang membuat kami mampu melewatkan waktu setidaknya terasa lebih cepat ketika bekerja di kantor.
Hubungan aku dengan Bambang kembali membaik, aku sendiri minta maaf atas apa yang aku lakukan pada waktu makan malam itu. Permintaan maaf itu mendapat respon positif sehingga membuat kami menjadwal ulang makan malam.
"Nda ada alasan untuk aku menolak lamaran kamu”. Ada sebuah senyum yang sangat manis menyambut perkataanku itu, dan senyum itu terasa mampu menghapus rasa kalutku atas apa yang dilakukan Mita selama ini.
Aku membiarkan diriku larut dengan perasaan yang bahagia, aku ingin Mita melihat bahwa dengan aku menerima lamaran Bambang aku masih bisa berkarir dengan baik. Karna selama ini Bambang nda perna mengungkapkan akan melarang aku kerja ketika sudah menikah.
Sekali lagi aku dapat membuktikan, bahwa aku sebenarnya ditakdirkan dengan kemampuan dan paras yang biasa saja namun memiliki keberuntungan, apa yang dikatakan oleh nenek itu adalah sebuah kebenaran yang telah membuat aku selalu memperlakukan hidupku dengan sikap yang biasa sehingga tidak perlu memilih sesuatu yang beresiko tinggi.
“Apa kamu yakin Bambang membiarkan kamu kerja setelah menikah”. Mita tiba-tiba berada di depan pintu kamar aku dengan sebuah pertanyaan.
“Bambang tak perna melarang aku kerja selama ini, dan dia tak perna mengatakan akan melarang aku kerja ketika akan menikah”.
“Kamu harus bertanya sekarang untuk memastikan bahwa itu adalah kebenaran”.
Ketika aku ingin memberikan penjelasan bahwa keputusan ini sudah benar dengan logika pemikiran yang matang, dia pergi tanpa mengatakan apapun. Sikapnya itu kembali membuat aku ingin membuktikan bahwa selama ini dia salah tentang sebuah pernikan, tentang bakat aku dan lainnya.
“Bagaimana menurutmu kalau wanita sesudah menikah, tapi tetap kerja”. Aku terus terusik oleh pernyataan Mita, sehingga di sela-sela kami membicarakan pernikahan. Aku membiarkan rasa penasaran itu terjawab dari mulun Bambang dengan langsung sehingga aku bisa mengatakannya pada Mita.
“Sayang, untuk apa kamu kerja. Ada aku yang akan memenuhi seluruh kebutuhan hidupmu”. Aku tersentak dan kaget.
“Tapi selama ini kamu tak perna keberatan aku bekerja”.
“Sekarang aku tidak keberatan dong sayang, nanti setelah kita menikah baru aku minta kamu berhenti dari kerjaan mu”.
“Kenapa harus setelah menikah baru kamu mengatakannya”.
“Karna sekarang belum perlu kita bahas tentang itu, kita selalu sibuk. Bahkan untuk bertemupun sangat susah, aku tidak ingin menikah yang hanya bertemu diatas tempat tidur saja”.
“Aku ingin istri yang selalu menunggu kepulanganku, melayani setiap kebutuhanku dirumah”. Hubungan selama hampir setahun, tak membuat aku mengenal lebih jauh tentang Bambang. Kesibukan telah menjadi sebuah alasan sehingga kami jarang bertemu dan jarang komunikasi dengan intens.
Kami membangun hubungan dengan saling percaya dan dilandasi dengan keseriusan untuk mengejar masa depan. Keadaan itu telah menjadi sebuah hal biasa bisa dapat kami tolerir.
Setelah semua kekhawatiran Mita terungkap dengan jelas, aku terasa terhipnotis. Membiarkan dan melangkah tanpa sadar, segala menjadi sangat kalut. Bahkan aku merasa terbang dengan kebimbangan, apa yang dikatakan Bambang benar. Segala kebutuhanku akan selalu terpenuhi dengan jabatan yang dia miliki sekaran, masa depan tak diragukan lagi, lalu apa yang aku inginkan.
Bekerjaan selama ini adalah sebuah perbudakan bagiku, lalu kenapa aku membiarkan Mita merasuki pemikiran yang lain dari apa yang aku rasakan. Walau terasa sangat menyenangkan setiap goresan pikiran aku torekkan menjadi sebuah karya, tetap saja setelah itu aku kecewa karna aku dilupakan.
Atas semua itu aku merasa tak perlu diprotes, aku terlahir dengan takdir selalu mendapatkan keberuntungan lalu kenapa aku harus dengan susah payah meraihnya, aku akan menunggu dan terus menunggu hingga suatu saat nanti aku mendapatkan sebuah keberuntunga yang membuat orang tidak melupakan aku.
Lalu kenapa aku ragu dan memikirkan kembali ketika aku yakin telah datang keberuntungan itu, didatang melalui Bambang yang akan memjadi suamiku. Tapi mata Mita memberi sebuah isyarat yang membawa aku harus terus berpikir dan terus melihat lalu mencoba membaca sebuah tanda yang selama ini aku yakin sebagai sebuah tolak ukur untuk mendapatkan keputusan terbaik.
“Bams, maafkan aku. Aku bukan wanita yang hanya mengingikan kenyamanan dengan mendapat fasilitas yang lengkap dari suami. Ada yang harus aku raih dalam karir aku, walau hal itu belum mampu aku yakini. Namun aku merasakan sebuah energy yang besar yang membawa aku kearah itu”. Sikapku untuk menolak mundur dari pekerjaan setelah menikah membuat Bambang mengatakan bahwa hubungan kami harus dipikirkan kembali.
Satu hal yang dapat aku pelajari dari semua ini, dibalik segala perhatian dan perasaan cinta Bambang ada sebuah sikap yang terlalu dalam untuk dimengerti. Bagaimana sikap egoisnya tak terbaca dengan jelas selama ini, keinginannya tak mampu ditolak adalah sebuah hal yang terlupakan.
Aku membiarkan itu semua tumbuh dengan subur, langkah aman itu menjadikan Bambang sangat arogan dalam memutuskan setiap langkah yang harus aku ambil. Aku terpuruk dalam pikirannku sendiri, membiarkan semuanya menjadi tak menentu.
Kejadian itu menjadikan aku sangat tergantung dengan pertimbang Mita, namun tak semua hal aku biarkan menjadi berubah. Untuk hal karir aku tetap terpaku pada soal keberuntungan yang aku percayai, aku tak perna yakin bahwa aku memiliki bakat untuk aku andalkan.
“Ayolah San, percaya aku sekali ini saja. Kalau apa yang aku katakana sekarang salah, agap saja kamu tak memiliki sahabat seperti aku”. Itulah puncak kemarahan Mita yang membuat aku kembali dari perjalan masa laluku yang panjang.
“Apa yang terjadi bila aku melanggar setiap keyakinan hatiku, rasa percayaku pada sebuah tanda dan firasat yang selalu aku jalankan selama ini”.
“Kenapa kamu tak memulai semua ini dengan sebuah tekat yang bulat, bahwa aku harus keluar dari pola hidup yang terkonsep pada pola aman”. Mita terus mengalirkan sederet semagat yang membuat aliran energy untuk menyakini ini adalah sebuah kebenaran.
Ditengah semua itu, entah mengapa tubuh dan pikiranku melakukan sebuah potongan-potongan pola yang menjadi dasar design untuk mengikuti kopetisi untuk ikut proyek pak Bono. Alam bawah sadarku menjadi sangat kreatif, dan ketika semua menjadi sangat asik dan menyenangkan aku baru menyadari bahwa alam sadarkupun menjadi sangat menikmati semua proses yang aku lakukan.
Setiap harinya aku akhirnya selalu menyempatkan diri disela-sela kesibukanku di kantor untuk membuat dan mengembangkan design itu. Semuanya terasa ringat tidak adalah lagi sebuah beban, aku terasa terbang, setiap rangkaian memberikan energy positif untuk aku terus berproses.
Aku tak lagi mendengar teriakan Mita, setaip aku melihatnya, wajahnya memancarkan sebuah kecerian. Apa yang aku lakukan tak perna dipertanyakan, seolah kami beku dalam sebuah hubungan yang tak dapat dicairkan dengan kata-kata, namun mampu dicairkan dengan isyarat kesetiaan.
Sikap tenang yang terjadi membawa aku terus melangkah dengan tenang, membiarkan darahku mengalir dengan halus menujuk otak. Kehalusan yang membuat otakku bekerja dengan sangat cemerlang, menghasilkan ide-ide yang membuat aku semakin berkembang. Akhir dari segala prose situ adalah keberanian untuk mengikuti saran Mita dan menunggu hasil.
“Kamu berhasil Santi, design kamu dipilih ama pak Bono”. Setelah seminggu aku menyerahkan karya itu, entah bagaimana Mita mendapatkan hasil begitu cepat. Pagi menjelang siang, disela-sela keasikanku membereskan setumpuk pekerjaan. Mita memberikan kabar yang aku pikir tidak mungkin aku terjadi.
“Kamu pasti bercanda”.
“Ibu Olivia menyuruhmu mempersiapkan presentasi, karna pak Bono memintamu menemui klain besok”. Kami berpelukan tanpa sadar, semua terasa sangat menyenangkan. Semua aku lewatkan dengan pertama kalinya membiarkan ide-ideku diakui oleh orang yang sangat penting di perusahaan ini, aku merasa terlahir dengan kepercayaan diri untuk mengembangkan diri, membiarkan setiap bakat yang aku miliki menjadi sebuah karya terbaik dan membiarkan diriku percaya bahwa aku mampu bukan karna takdir aku yang selalu beruntung.
Ketika aku tahu bahwa ada sebuah kemampuan yang sangat besar dalam diri, aku yakin akan menjadi sangat luar biasa bila dipadukan dengan percaya bahwa takdir itu sebagai penguat dalam setiap karya yang tercipta.
Berakhir atau awal cerita ini, aku seorang Santi harus mengakui bahwa keberuntungan terbesar dari hidupku adalah hadirnya seorang sahabat seperti Mita. Dengan perjuangan tak perna menyerah menyadarkan aku untuk menghargai diri sendiri, setiap orang memiliki kemampuan yang tidur dan menunggu untuk dikembangkan dengan sadar. Biarkan takdir datang dengan beriringan dengan kesadaran akan kemampuan kita.
“Makasih Mit”. Kami pun terlena dengan perayaan sederhana, membiarkan semua kebekuan yang terjadi selama ini mencair dan mengalir dengan saling mendukung serta mengingatkan……………..

26 Januari, 2010

HEMBUSAN ANGIN CINTA

Pancaran hati dan jiwa yang tak berarah akan menjadi sebuah bentuk yang tak mampu aku kendali, dia membawaku pada titik pancaran kelam bagaikan bom atom yang siam meledakan seluru emosi ku pada sebuah emosinal yang berkekuatan super tinggi. Kegaluhan jiwa ku telah menmbuat aku kembali merasakan bagaimana tersakitinya sebuah penghianatan keyakinan yang telah setulusnya tercurahkan.
“Aku bukan menghinati kepercayaan mu alia, tapi sebuah bakti yang harus ku jalankan”. Keputusan sepihak yang mengatasa nama pengabdian telah dia berikan untuk menyakinkan aku bahwa kebenara yang tak dapat di tolak untuk menakhiri sebuah hubungan yang telah di landaskan sebuah kepercayaan seutuhnya pada kesaktian cinta.
Apa yang dilakukan radit telah meluluh lantahkan sebuah keyakinan yang selama ini telah ku jaga, bahkan ku bangakan kepada semua orang yang tidak optimis pada sebuah perasaan cinta. Aku bahkan telah membuah sebuah komitmen bahwa cinta adalah sebuah ikatan suci yang tak akan hilang dengan sebuah godaan atau cobaan dari orang-orang terdekat.
“Hai rembulan semua telah hancur, apa lagi yang bisa aku perjuangkan”. Kegundahan hatiku tak lagi dapat membuat aku yakin pada sebuah hal yang telah aku coba pertahankan.
Hembusan angin laut Ampenan yang selalu aku yakinkan akan membawa ketenangan hati, tak mampu memberikan sebuah kedamaian. Hari-hari yang ku lalui dengan radit di pantai ini malah membuat aku semakin merasa terhempas pada kehampaan, membuat darah ku mengalir dengan deras keotak sehingga memberi sinyal pada jantung ku untuk berdetak dengan kencang tanpa kendali sehingga nafasku terasa sesak.
“Bawahlah aku kedalam pelukanmu wahai air yang terlihat biru tak kala matahari menerangimu, agar aku dapat mendekapmu merasakan kedamaian yang selama ini kau tularkan ketika aku memandangmu”. Hembusan angin membawaku semakin mendekat dengan tempat yang ku yakini akan mengobati setiap luka yang telah tergoreskan di hatiku.
“Aku yakin kau akan membuat ku dapat melupakan semua kenangan ku bersama radit, aku yakin berada di dekapanmu aku akan mendapat kedamai seperti yang selama ini aku yakini ketika memandangmu di daratan”.
----------------------------------------------------
“Aku dimana”. Aku melihat banyak orang mengeliligiku, memberikan senyum terindah mereka. Kehadiran ku seakan mereka tunggu sudah lama, aku melihat keluarga besarku ada di keliliku.
Kenapa aku berada diantara mereka, padahal aku mengingikan berada dalam sebuah kehidupan jauh dari mereka semua. Berada di alam lain yang tak perlu menjawab kenapa keyakinanku selama ini telah dihianati oleh orang yang telah bersama mencoba menunjukan bahwa keyakinan kami itu benar.
Perasaan kalut dan tubuhku terasa sangat lemah, sehingga aku tak mampu membuka mulutku untuk bertanya kenapa semua orang memberikan perhatian yang sangat berlebihan menurutku. Wajah-wajah mereka selalu dihiasi manis yang selama ini hampir tak perna aku temui. Mereka merasa apa yang aku yakini adalah hal yang bodoh, dan kebodohan itu harus mereka tentang agar kebenaran mereka di yakini oleh aku.
Apa yang terjadi tak dapat ku ingat, hanya hanparan kesedihan yang telah radit torehkanlah yang teringgat. Radit meninggalkan aku karna seorang perempua yang telah dijodohkan oleh orang tuanya. Padahal, apa yang terjadi pada radit telah perna aku alami, tapi aku mampu melewatinya dan mempercayai bahwa sebaik apapun orang tuaku telah memilihkan seorang pendampi akan jauh lebih indah hidup dengan perasaan cinta sejati.
Kelelahan kembali membuatku tertidur meninggalkan semua orang yang telah meberikan senyuman manis. Aku hanya dapat membalasnya dengan sebuah kedipan mata yang mengisaratkan bahwa aku baik-baik saja. Keberadaan ku dalam alam tak sadarpun masih membuatku merasakan sakit yang sangat menyesatkan menusuk membuat hatiku perih, ku coba segala cara agar rasa itu berkurang rasa sakitnya, tetap saja aku tak mampu.
“Alia, percuma kamu melakukan semua itu jika jiwamu dan roh cintamu masih untuk radit”. Orang ini tiba-tiba muncul dengan penuh percaya diri seolah dia tau semua hal tentang kehidupanku.
“Siapa kamu, sehingga kamu harus ikut campur dengan urusan kehidupanku”. Pernyataanku tak membuat dia berpaling meninggal aku yang masih sibuk melakukan cara apapun untuk menghilang rasa sakitku. Keputus asaan membuat air mataku mengalir dengan sendirinya, dia terus mengalir membanjiri seluru permukaan wajahku, isapan ku semakin mempertegas bahwa saat ini aku menangisi kehidupanku, rasa sakitku, penderitaanku, segala hal buruk dari hidupku.
“Tangisan itu tak akan membawa radit kembali, dia akan tetap terbang meninggalkan kamu dengan penderintaanmu sendiri, membiarkan kamu dengan kenangan indah tak bisa menggulang kembali. Kenangan itu akan membuatmu setiap harinya berada dalam kesakitan yang makin dalam”. Aku biarkan dia mengatakan apapun, seolah-olah membiar dia membuka semua perasaan yang sedang aku alami, membiarkan semua yang aku rasakan diungkapkan dengan kata-kata. Padahal aku sudah coba mengatakan semua itu dengan kata-kataku namun sangat terasa sakit sehingga mulutku terasa terkunci dengan sendirinya.
“Pergilah, aku tak perlu kamu untuk mengingatkan bertapa sakitnya semua ini, aku bisa merasakan sendiri apa yang adalah hatiku”. Aku tak memiliki lagi tenaga untuk mengusirnya dengan kata-kata kasar, aku mencoba mengatakan dengan kepasrahan, agar dia mau pergi menjauh dan membiarkan aku sendiri.
“Aku tak akan pergi hingga rasa sakitmu hilang, dan menunjukkan bahwa keyakinanmu selama ini tetap benar walau kamu disakiti oleh orang yang kau yakinin cinta sejatimu”. Pernyataannya semakin membuatku tak berdaya dalam kesakitan.
“Ketulusan cinta akan menemukan orang yang memberikan cinta yang sama, apa yang terjadi sekarang adalah jembatan untuk mengapai cintamu yang sebenarnya”. Entah apa ini sebuah angin surge cinta atau hanya pernyataan yang bohong belaka agar aku tak semakin hilang dan terpuruk dengan perasaanku.
“Pergilah, aku mohon. Aku tak mampu lagi merasakannya”. Tenaga ku seolah menguap bagaikan sebuah uapan air yang telah mencapai 100oc takkala dipanaskan, badan ku semakin lemah dan lelah, aliran darahku seakan terhenti bekerja, berganti menekanku sehingga semakin membuatku terpuruh menghilang tak sadarkan diri.
------------------------------------------------------------------
Entah sudah berapa lama aku berada disini, kali ini kembali aku membuka mata, namun tak seorangpun ada disekelilingku. Aku hanya menemukan alat-alat medis yang telah terpasang pada tubuhku. Kelelahan yang panjang membuat aku tak mampu mengerakan tubuhku sehingga hanya kepasrahanlah yang dapat aku rasakan berharap ada orang datang membantuku.
“Alin, ginama keadaan mu sayang”. Senyum itu terasa sangat indah, sosok mama sangat membantu setiap hal yang kulalui. Keberadaannya adalah sebuah anugrah yang sangat sempurna, perhatian dan pengorbananya membuat hidupku serasa indah.
“Lin, jadikan mama sebagai orang yang akan membuatmu tenang, dan biarkan mama merasakan setiap rasa sakit yang kau alami, agar mama dapat menjadi teman dan orang yang baik untukmu”. Mama seakan mengingatkan kembali akan apa yang telah aku lakukan, sebuah kebodohan yang aku nama sebuah kedamaian pada hal aku telah melakukan sebuah perbuatan yang sangat di kecam.
Setiap pelajaran yang aku terima, hal yang paling dilarang agama adalah bunuh diri, dan apa yang aku lakukan di pantai Amplena, yang berada di pigir kota mataram adalah perbuatan yang selama ini ditentang. Kepergian radit seolah menghilangkan semua orang dalam hidupku. Berlahan setiap suapan yang mama berikan membawa aku pada kesadaran bahwa ini kebodohan yang telah membawa aku berada di ruang yang dipehuni nuangsa warna putih, aromah obat yang tak terelakan terasa menyengat.
Aliran air mata mama, tetes demi tetesnya menyadarkan diriku. Aku melangkah seolah menlihat sebuah kehidupan baru telah menantiku, rasa asin air laut berubah rasa menjadi sebuah penawar rasa sakit yang aku alami, semakin dalam aku berjalan aku semakin merasakan kedamaian yang terasa hampa.
Langkahku tak perna berhenti karna keyakinanku, tiupan angin yang menyibakan rambutku kebelakan tak mengodaku untuk menoleh kebelakang untuk kembali menghadapi dunia. Langkahku bak seorang pemberani yang telah yakin bahwa ini adalah perbuatan yang paling benar sebagai penawar rasa sakitku. Langkah ini terus terasa ringan tak kala datang sebuah bisikan yang mengiurkan.
“Ini hal yang paling benar Alin, dengan ini kamu akan menhilang dari orang-orang yang akan memojokkanmu”. Kenyataan yang membenarkan apa yang telah aku rasakan.
“keputusan yang benar Alin, biar mereka merasakan sakit yang kamu rasakan dan menyakini bahwa kamu benar. Mereka akan menyalahkan radit, dan radit akan dapat merasakan setiap penderitaanmu. Ini adalah balasan yang setimpal atas perbuatannya pada kamu”. Ini adalah dukungan terindah yang perna aku dengarkan. selama ini mereka selalu menyalahkan diriku, seolah mempertahankan radit adalah perbuatan konyol yang telah dilakukan oleh seorang bernama Alin, dan kesalahan itu harus di disadarkan dengan membiarkan aku terpuruk, sendiri dengan rasa sedihku.
Semakin dalam aku berjalan, hanya suara angin dan air yang terdengar. Semua hilang, nafasku terasa sesak, pandangan ku tak dapat lagi menjangkau apapun hanya kegalau yang semakin mencekam yang aku rasakan.
Bayangan mama seolah semakin kuat datang, membangunkan ku dari kegelapan oleh ketepurukan perasaanku. Senyumnya seolah memberikan peringatan bahwa ini adalah hal yang salah, lebih salah dari keputusan ku untuk tidak meninggal radit pada saat mama menjodohkan aku dengan seorang laki-laki yang telah di jamin akan memberikan masa depan yang cemerlang dan kebahagian selamanya.
Namun setelah dia tersenyum, dia menangis seolah-olah ingin menjangkau ku. Kesedihan yang terpancar dari wajah mama membuat aku ingin menjangkaunya, memeluknya dan menangis di pundaknya, aku terus mencoba melangkah dan mencoba berlari, namun mama terasa sangat jauh. Sekuat tenaga aku melawan arus yang menghambatku untuk menjangkau mama tapi tetap saja mama terasa jauh. Hingga aku kehabisan tenaga untuk melawannya, dan membiarkan arus membawaku.
“Maafkan aku mam”. Aku terus terseret, semakin dalam, semakin jauh dari mama. Aku menangis berharap ada yang mampu menolongku, namun tangisan itu terasa percuma aliran semakin kuat membawaku pergi jauh hingga semuanya hilang berganti dengan kegelapan.
Dan sekarang aku berada di depan mama, menangis seolah aku tak ingin menghentikannya, menatap bening dan dalam dari kesejukan matanya. Aku tak dapat meluap rasa bahagia yang tak terbendung ini hanya dengan tangisan kucoba mengapai tangannya.
“Mam, biarkan Alin menjadi orang yang akan mama bangankan”. Kata itu terucap seolah menjadi sebuah harapan dan semangat baru bagi kehidupanku yang hampir ku akhiri dengan kebodohan dan kegelapan jiwaku memaknai setiap perputaran waktu yang melewati setiap ceritanya sendiri. Kehidupang yang mengalir dengan sendiri tak mampu di bendung dengan hanya sebuah pembenaran sebuah kejadian yang menjadi bagiannya.
“Mama akan selalu akan mendukungmu Alia, mam hanya ingikan yang terbaik untuk kamu, berdasarkan pemikiran mama. Namun mama sadar sekarang bahwa kamu juga dianugrahi hal yang sama oleh tuhan, punya pemikiran sendiri, tugas dan kewajiban mama hanya membimbing dan mengarahkan hidupmu bukan memaksakan kehendak”. Kami larut dalam perasaan yang campur aduk, semua rasa menjadi satu semakin melarutkan kami dalam perasaan saling sayang dan membutuhkan dukungan. Ini hidup yang inginku tinggalkan, kesempurnaan dengan luapan kasih sayang dengan cinta yang tulus.
“Maaf menggangu suasana”. Dia masuk dengan sebuah senyum, kegembiraan terlihat di pancaran wajahnya, indah dan menawannya wajah itu terbalut dengan sempurna oleh senyumnya semakin lama semakin lebar. Suasana ini seolah sebuah pertemuan kembali seorang teman yang telah lama menjauh, semakin dia mendekat senyum itu semakin membawa aku pada memori lama yang telah tertutup rapat.
“Adit, masuklah”. Mama menyuruhnya masuk, mama seolah sangat mengenalnya, setiap orang yang mama kenal selalu aku tahu. Tapi pada saat dia masuk ada sebuah perasaan yang lain aku rasa, rasa yang dapat ku mengerti.
“Alia. Ini Adit yang menolong kamu”. Aku teringat kembali, pada saat terakhir aku merasa putus asa, aku merasakan seseorang menarik tanganku, memelukku dan menerikan bahwa aku harus bertahan. Suara itu kembali teringat dalam kejadian itu.
“Terima kasih”. Kata itu keluar dengan kaku, kata itu terasa berat terucapkan, ada sesuatu yang menghabatnya sehingga terasa berat. Dia berdiri dengan membiarkan senyumnya terlihat dengan indah, ini sebuah perasaan yang terdalam yang seolah datang kembali dari sebuah masa lalu.
“Cepat sembuh, Alia”. Dia meninggalkan kami setalah seuntai bunga berada dalam gengamanku.
Kembali kelelahan menderaku sehingga aku kembali terlelap dalam tidurku, dalam tidur yang terasa lebih damai dari pada dalam sebuah ketesejukan air yang aku yakini akan membawaku pada kedamaian semu. Istrihat yang lama dirumah sakit membuatku kembali pulih, semangat yang di berikan oleh mama setiap dia berada disampinku membawah aku semakin percaya akan kehidupan yang akan ku jalani.
Seberat apapun sebuah masalah selalu bersama mama menjadi sebuah cerita yang bermakna dan bernilai sebuah pembelajaran kedewasaan, semua ini menjadi sebuah modal untuk kembali menata kehidupan di setiap perputaran waktu.
Pada waktu dimana semua kehidupanku mulai ku tata dengan mengikuti kebiasaan sehari-harinya sebelum kejadian itu, aku masih mendapat perhatian yang sangat besar dari orang-orang yang aku kira akan menyakiti diriku dengan pernyataan-pernyataan yang tak ingin aku dengar.
Siang yang panas selepas dari kegiatan rutin kuliah yang sangat melelahkan aku kembali berada dalam sebuah kamarnya kesayanganku. Kamar yang menyasikan setiap perubahan hidup dan mengetahui semua rahasia hidupku. Tidak ada yang istimewa dari kamar ini hanya saja semua yang ada didalamnya aku hafal dimana dan apa saja, menjadi sangat berbeda ketika seuntai mawar berada di atas tempat tidurku. Mama tak cukup romantic memberikan bunga mawar untuknya, begitu juga papa. Papa sangat kaku dalam hal keromatisan.
“Mam, bunga ini dari siapa”. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyum mengoda dari mama. Reaksi yang tidak sabar dari raut wajahku membuat mama tak tega membuat anaknya semakin penasaran.
“Orangnya lagi nunggu di taman belakang”. Ekpresi mama terlihat sangat aneh, wajahnya begitu berseri memancarkan kebahagia. Aku semakin penasaran siapa tamu ini yang membuat mama begitu sangat bahagia.
Pada saat aku berada di pingir pintu menuju taman belakan, kembali aku menemukan senyum indah yang begitu menawan yang perna aku dapatkan pada saat di rumah sakit. Kembali perasaan ku memberikan reaksi yang sama, kali ini perasaan ku semakin bergejolak.
“Hai Alia, sorry ganggu”. Aku hanya menberikan senyum seadanya untuk menjawabnya, perasaan kembali menekanku seolah tak mampu menbuka bibirku untuk menyambut sapaannya.
“Aku bukan orang baru di kehidupan mu Alia, jarak yang telah memisahkan kita”. Aku mencoba menatap wajahnya, apakah benar yang dia katakana. Kehidupan yang mana dihadir. Perputaran waktu yang mana yang telah mencatat kebersamaan kami.
Semakin dalam aku menatapnya, semakin aku kehilangan memori yang mana dia hadir. Hingga pada sebuah senyum itu kembali menghiasai wajahnya, aku melayang pada sebuah kisah yang sangat jauh telah terlampoi.
“Masa kita di SMA adalah masa sangat menyenangkan, walau kita berbeda kelas, aku sering melihat mu ketawa dan itu adalah sebuah keindah yang tak perna aku lupakan. Cerian yang terpacar dari wajahmu adalah sebuah energy yang luar biasa bagi semangat ku”. Panjang di menariku pada masa dimana sebuah kisah yang tak perna benar-benar aku ingat.
Kami berada di sebuah masa yang lalu dimana tidak ada pemahaman yang pasti untuk sebuah cinta yang berakhir pada titik cinta sejati. Perjalan cinta hanya sebuah rangkaian cerita yang terurai untuk melewati masa-masa remaja yang penuh dengan pencarian pedoman yang pas untuk menata kehidupan yang akan datang.
Dan kisah itu tak benar-benar hadir dari memoriku, karna kisah itu sangat singkat. Kepindahanya ke Jakarta mengikuti orang tua telah mengakhiri kisah cinta singkat kami, sakitnya tak terasa walau harus berpisah. Tanpa disadari dengan jelas oleh pikiranku, bahwa Adit adalah orang paling sangat baik. Kami selalu menghabiskan setiap waktu berdua di tepi pantai yang indah, setiap pantai di mataram kami coba datangi untuk mencari sebuah keindah yang membawa kami pada sebuah kedamaian
Dan dialah yang mengenalkan pantai Ampenan, setiap sabtu sore kami selalu melewati waktu disitu. Merasakan setiap hempasan angin yang menyejukan, menawanya keindahan laut yang selalui di penuhi nelayan. Tanpa kusadari setiap kali aku sedih selalu mendatanginya seolah, pantai itu akan memberiak kesembuhan dari setiap duka yang aku rasakan.
“Sejauh apapun aku pergi, yakinlah bahwa aku selalu ada untukmu disini”. Kata itu lah yang membuat kami akhirnya terpisah bertahun-tahun, aku tak mengerti mengapa dia terlupakan oleh aku, mungkin karna pada saat itu aku terlalu putus asa menunggunya sehingga rasa marahku menekan semua janji itu sehingga terlupakan.
Dan perubahan garis wajahnya sangat jauh dimana masa itu terjalin, kedewasaan telah membuat garis wajahnya semakin tegas memperlihatkan ketampanannya. Tubuhnya yang tumbu dengan tegap membuat posturnyapun berubah, perubahan yang sangat jauh dari bayanganku.
“Kenapa kamu berada disana, kamu menyelamatkan aku”. Dia kembali tersenyum, dan senyum itu telah membawa aku pada masa lalu, dimana senyum itu ternyata selalu melekat di pikiranku. Tidak ada perubahan dari senyum itu, dia hadir membawa pada sebuah perasaan yang sangat dalam, menembus dinding kekosongan yang tak dapat diungkapkan.
“Menepati janji untuk kamu”. Janji yang diungkapkan oleh seorang remaja yang masih labil, berartikan baginya. Semua tak masuk diakal, bagaimana janji yang diungkapkan itu begituh jauh mengantarnya kembali.
“Nda mungkin hanya karna janji itu, kamu jauh-jauh kesini”. Aku mencoba mencari jawaban akan keraguan yang aku ciptakan, dibalik semua itu memori indah kembali di benakku. Bagaimana kami melewati hari dengan sangat indah, saling mendukung, menyemangati dikala masa remaja itu membawa masalah bagi kehidupan kami.
Kedalamannya dalam memahami hidup diumur yang sangat muda, membuat dia sangat terlihat istimewa dengan waktu yang sangat singkat. Seolah kehidupan ini indah dikala kamu tahu apa yang mesti kamu yakini kebenarnya dan berusaha mencapainya.
“Aku sudah berada dalam sebuah tujuan yang pasti, bahwa kamu akan selalu aku inginkan untuk mengarungi setiap langkahku. Dan kamu pasti tahu bahwa hidup adalah sebuah tujuan, kamu adalah tujuan cintaku”.
“Itu harapan yang terlalu dini kamu berikan kepada orang baru kehilangan kepercayaan akan cintanya”.
“Aku akan selalu menunggu kamu, buktikanlah bahwa semua ini adalah keyakinan yang telah dibangun sejak kita memulai hubungan itu”.
“Itu sudah lama terjadi, aku pun telah membiarkan hatiku dimiliki oleh orang lain”.
“Aku tidak perna membiarkan itu pada hatiku, karna aku perna berjanji untuk kembali mencarimu”. Perubahan yang sangat tak wajar pada seluruh keyakinanku pada sebuah kebimbangan, semua menjadi berubah. Perubahan ini menakutkan tapi apa yang telah terjadi menyadarkan aku, bahwa akan terjadi sebuah hal, maka semua dayaku tak akan mampu ku lewatkan.
Adit mencoba menyakinkan keberadaannya disini bukan semua mimpi atau rasa kasihan dengan apa yang aku alami, tapi sebuah bentuk rasa cinta yang telah dia yakini. Logikan akan sebuah kebenaran dia coba ungkapkan untuk membenarkan keberadaanya di hadapanku.
“Maafkan aku Adit, kebaikanmu adalah tetesan embun di yang memberikan kehidupan yang kembali akan kekeringan hatiku oleh sebuah penghianatan cinta. Tapi semua ini terlalu indah dan aku takut, keindahan ini tak akan bertahan dengan kegalauan hatiku”. Aku meninggalkan dia, mencoba untuk menghindar dari sebuah sorotan mata dan kedamaian dari senyumnya. Karna semua itu mampu membuat hatiku terhanyut.
Waktu kembali berputar mengikuti lingkaran yang telah terbentuk sejak kehidupan ada, berlalu dengan kehidupan yang tak membawa perubahan bagi setiap langkahku. Membiarkan jiwa larut dalam sebuah keterpurukan untuk menghindar pada kenyataan cinta, adalah hal menyakitkan.
Aku terus bertahan untuk menolah kembalinya keyakinan bahwa cinta sejati itu ada untukku, adit adalah cinta itu yang memang datang pada perputaran waktu yang tepat. Titik-titk perasaan bergulir dengan cepatnya secepat detak jantung, mencoba berdamai untuk membiarkan hati kembali terbukan untuk adit namun sebagian jiwa menolak itu. Mencoba meresapinya dan membawa hati semakin dalam untuk merenung dan membiarkan masalah lalu teringat kembali agar muncul sebuah jawaban yang tepat untuk mengakhiri segala gejola. Semakin lama itu terjadi membawa aku terlelap pada tidurku.
“Apa yang kau cari, Alia? Biarkan dia hadir karna seharusnya dia hadir, getaran dan gelombang ini tak akan mampu kau bendung untuk kau hindari”. Kehadirannya sama seperti di hadir dalam mimpiku pada waktu di rumah sakit.
“Kenapa kau datang dengan nada yang sama untuk aku”. Aku tak akan membiarkannya pergi dengan hanya mengungkapkan semua pernyataan yang tak berujung tetang kehidupan cintaku.
“Kenapa kamu yakin aku akan mempercayai setiap ucapanmu sedang aku sama Sekali tidak menengenalmu”. Aku berusaha membiarkan dirinya terpojok oleh pertayaan, agar dia mau mengungkapkan dirinya, kenapa selama ini hadir dikala aku selalu dalam keadaan terjebak oleh pertanyaan yang tak dapat aku jawab dengan logika.
Semua berada pada sebuah kebimbangan yang sangat tak menentu, kegalauan yang membuat hati dan pikiran saling memberikan argument yang membinggungkan. Pergelutan sengit membawa pada titik pembentukan jiwa yang semakin kalut untuk menentukan sebuah pilihan dalam kehidupan.
Waktu berlalu dan kembali dalam keadaan terpuruk dengan kebimbangan yang sangat menguras semua emosi, kehadiran dari sebuah pernyataan yang mengarah pada sebuah penolakan dari perasaan sangat menyakitkan karna harus kita lawan semua pergolakan perasaan yang mencuat didiri dan mengembangakan perasaan yang dalam keadaan terjepit di dasar perasaan yang paling dalam.
“Adit adalah jawaban dari semua hal yang kau yakini, bahwa perasaan cinta yang kamu jaga selama ini bukan buat radit tapi buat orang yang sama dengan kamu, sama mau menjaga hatinya untuk seseorang bidari yang dia yakini akan memberikan cinta yang sama dengan dirinya”. Aku menatapnya dengan sangat tajam agar menyakini semua ini berasal dari seseorang, namun seperti biasanya dia selalu membelakangiku dan tidak membiarkan wajahnya terlihat olehku, sedang aku tidak mampu mengarahkan tubuh untuk mendekatinya.
“Adit masa lalu yang telah berakhir, bagaimana aku bisa menyakini bahwa dialah cinta sejatiku. Karna kami tidak perna bertemu setelah dia meninggalkan aku”. Aku tetap memberikan kesempatan perasaan untuk mengungkapkan kebenaran bahwa sebenarnya perasaan itu ada buat adit. Perasaan itu muncul untuk mulai tumbuh ketika sebuah senyum itu terlihat pertama kali di rumah sakit, kilatan rasa itu berkembang terus.
“Aku tau perasaanmu mulai ada untuk adit, kamu harus membiarkan dia mengetahui agar kepergiaannya tidak kau sesali. Karna sejauh apapun kau mencoba membunuhnya dengan logikan tak beralasan kuat, perasaan itu tidak malah akan membuat kamu semakin sakit”. Aku mencoba berpikir sejenak untuk member jawaban untuk pernyataannya, ketika jawaban itu ada dia hilang dan aku tak menemukannya walau aku berusaha berteriah dan berharap dia kembali.
“Alin, bangun sayang”. Guncangan tiba-tiba aku rasakan, sehingga tersadar. Wajah cemas itu bermakna seribu pertanyaan dari mama. Dan kecemasan itu hanya dapatku jawab dengan sebuah senyum yang aku yakini akan memberikan jawaban untuk mama, walau semua itu tidak terungkap dengan sebuah kata.
Hanparan kebimbangan tetap saja membuat aku tak mampu membuat keputusan yang akan aku berikan pada adit ketikan akhirnya dia memcoba mengungkapkan bahwa aku harus member jawaban untuknya sebelum akhirnya dia pergi untuk selamanya dan tak akan kembali untuk mencari cinta yang selama ini dia yakini bahwa dengan akulah cinta itu berlabu.
“Aku mengajak kamu kesini bukan untuk membuka kenangan manis atau pahit yang telah kau lalui di laut ini, tapi aku sangat berharap bahwa keberadaan kita disini akan membuat kamu menyakini bahwa aku akan menjadi orang yang akan kamu andalkan dalam keadaan apapun dirimu. Bahwa aku adalah sebuah tujuan akhir dari cintamu, dan kita arungi bahtera pembelajar aliran cinta kita dalam perputaran hidup kita di awali dari titik pinggir pantai Ampenan ini”. Pernyataan adit tentang awal yang akan kami lalui memberikan sebuah kesejukan dari dahaga kebimbanga yang selama ini aku alami. Dan keberadaan kami disini merupakan proses yang tidak mudah untukku menyetujui pertemuan ini.
Dorongan dari dasar hati yang paling dalamlah yang harus aku dengan agar menyetujui keingin adit untuk bertemu, untuk melepas kepergiaanya. Berat namun ini adalah sebuah bentuk keajaiban hati yang tak mampu di pikirkan oleh aliran otak. Langkah demi langkah ku biarkan agar hatiku merasa dapat bernafas lebih lega, kegelisan tetap saja terlihat dari wajahku walau aku sudah coba untuk membiarkan keyakinan itu adalah sebuah kebenaran yang harus aku biarkan terjadi.
“Adit, hatiku masih memberikan sebuah rasa nyeri yang tak mampu ku sembuhkan dengan waktu singkat. Kebeadaan dan kebenaran hati yang tertanam amat dalam telah dapat aku rasakan untuk kamu, tapi belum mampu memulihkan rasa sakit itu”. Kejujuran itulah yang dapat mendamaikan pergulatan keyakinan antara pikiran dan hatiku.
“Aku berharap tidak banyak dari dirimu Alia, aku hanya berharap kamu mau membuka kembali hatimu untuk mencoba menyakinkan dirimu bahwa cintamu adalah untuk diriku. Berawal dari itulah akan kita bina hati kita untuk dapat menyatukan aurah dan jiwa kita”. Dan pelukan itu membuatku semakin lega seakan aku dapat bernafas dengan sangat nikmat, hembusan angin itu menambah keyakinanku untuk mau mencoba membuka babak baru hidupku untuk Adit……………………………………………………………