26 Januari, 2010

HEMBUSAN ANGIN CINTA

Pancaran hati dan jiwa yang tak berarah akan menjadi sebuah bentuk yang tak mampu aku kendali, dia membawaku pada titik pancaran kelam bagaikan bom atom yang siam meledakan seluru emosi ku pada sebuah emosinal yang berkekuatan super tinggi. Kegaluhan jiwa ku telah menmbuat aku kembali merasakan bagaimana tersakitinya sebuah penghianatan keyakinan yang telah setulusnya tercurahkan.
“Aku bukan menghinati kepercayaan mu alia, tapi sebuah bakti yang harus ku jalankan”. Keputusan sepihak yang mengatasa nama pengabdian telah dia berikan untuk menyakinkan aku bahwa kebenara yang tak dapat di tolak untuk menakhiri sebuah hubungan yang telah di landaskan sebuah kepercayaan seutuhnya pada kesaktian cinta.
Apa yang dilakukan radit telah meluluh lantahkan sebuah keyakinan yang selama ini telah ku jaga, bahkan ku bangakan kepada semua orang yang tidak optimis pada sebuah perasaan cinta. Aku bahkan telah membuah sebuah komitmen bahwa cinta adalah sebuah ikatan suci yang tak akan hilang dengan sebuah godaan atau cobaan dari orang-orang terdekat.
“Hai rembulan semua telah hancur, apa lagi yang bisa aku perjuangkan”. Kegundahan hatiku tak lagi dapat membuat aku yakin pada sebuah hal yang telah aku coba pertahankan.
Hembusan angin laut Ampenan yang selalu aku yakinkan akan membawa ketenangan hati, tak mampu memberikan sebuah kedamaian. Hari-hari yang ku lalui dengan radit di pantai ini malah membuat aku semakin merasa terhempas pada kehampaan, membuat darah ku mengalir dengan deras keotak sehingga memberi sinyal pada jantung ku untuk berdetak dengan kencang tanpa kendali sehingga nafasku terasa sesak.
“Bawahlah aku kedalam pelukanmu wahai air yang terlihat biru tak kala matahari menerangimu, agar aku dapat mendekapmu merasakan kedamaian yang selama ini kau tularkan ketika aku memandangmu”. Hembusan angin membawaku semakin mendekat dengan tempat yang ku yakini akan mengobati setiap luka yang telah tergoreskan di hatiku.
“Aku yakin kau akan membuat ku dapat melupakan semua kenangan ku bersama radit, aku yakin berada di dekapanmu aku akan mendapat kedamai seperti yang selama ini aku yakini ketika memandangmu di daratan”.
----------------------------------------------------
“Aku dimana”. Aku melihat banyak orang mengeliligiku, memberikan senyum terindah mereka. Kehadiran ku seakan mereka tunggu sudah lama, aku melihat keluarga besarku ada di keliliku.
Kenapa aku berada diantara mereka, padahal aku mengingikan berada dalam sebuah kehidupan jauh dari mereka semua. Berada di alam lain yang tak perlu menjawab kenapa keyakinanku selama ini telah dihianati oleh orang yang telah bersama mencoba menunjukan bahwa keyakinan kami itu benar.
Perasaan kalut dan tubuhku terasa sangat lemah, sehingga aku tak mampu membuka mulutku untuk bertanya kenapa semua orang memberikan perhatian yang sangat berlebihan menurutku. Wajah-wajah mereka selalu dihiasi manis yang selama ini hampir tak perna aku temui. Mereka merasa apa yang aku yakini adalah hal yang bodoh, dan kebodohan itu harus mereka tentang agar kebenaran mereka di yakini oleh aku.
Apa yang terjadi tak dapat ku ingat, hanya hanparan kesedihan yang telah radit torehkanlah yang teringgat. Radit meninggalkan aku karna seorang perempua yang telah dijodohkan oleh orang tuanya. Padahal, apa yang terjadi pada radit telah perna aku alami, tapi aku mampu melewatinya dan mempercayai bahwa sebaik apapun orang tuaku telah memilihkan seorang pendampi akan jauh lebih indah hidup dengan perasaan cinta sejati.
Kelelahan kembali membuatku tertidur meninggalkan semua orang yang telah meberikan senyuman manis. Aku hanya dapat membalasnya dengan sebuah kedipan mata yang mengisaratkan bahwa aku baik-baik saja. Keberadaan ku dalam alam tak sadarpun masih membuatku merasakan sakit yang sangat menyesatkan menusuk membuat hatiku perih, ku coba segala cara agar rasa itu berkurang rasa sakitnya, tetap saja aku tak mampu.
“Alia, percuma kamu melakukan semua itu jika jiwamu dan roh cintamu masih untuk radit”. Orang ini tiba-tiba muncul dengan penuh percaya diri seolah dia tau semua hal tentang kehidupanku.
“Siapa kamu, sehingga kamu harus ikut campur dengan urusan kehidupanku”. Pernyataanku tak membuat dia berpaling meninggal aku yang masih sibuk melakukan cara apapun untuk menghilang rasa sakitku. Keputus asaan membuat air mataku mengalir dengan sendirinya, dia terus mengalir membanjiri seluru permukaan wajahku, isapan ku semakin mempertegas bahwa saat ini aku menangisi kehidupanku, rasa sakitku, penderitaanku, segala hal buruk dari hidupku.
“Tangisan itu tak akan membawa radit kembali, dia akan tetap terbang meninggalkan kamu dengan penderintaanmu sendiri, membiarkan kamu dengan kenangan indah tak bisa menggulang kembali. Kenangan itu akan membuatmu setiap harinya berada dalam kesakitan yang makin dalam”. Aku biarkan dia mengatakan apapun, seolah-olah membiar dia membuka semua perasaan yang sedang aku alami, membiarkan semua yang aku rasakan diungkapkan dengan kata-kata. Padahal aku sudah coba mengatakan semua itu dengan kata-kataku namun sangat terasa sakit sehingga mulutku terasa terkunci dengan sendirinya.
“Pergilah, aku tak perlu kamu untuk mengingatkan bertapa sakitnya semua ini, aku bisa merasakan sendiri apa yang adalah hatiku”. Aku tak memiliki lagi tenaga untuk mengusirnya dengan kata-kata kasar, aku mencoba mengatakan dengan kepasrahan, agar dia mau pergi menjauh dan membiarkan aku sendiri.
“Aku tak akan pergi hingga rasa sakitmu hilang, dan menunjukkan bahwa keyakinanmu selama ini tetap benar walau kamu disakiti oleh orang yang kau yakinin cinta sejatimu”. Pernyataannya semakin membuatku tak berdaya dalam kesakitan.
“Ketulusan cinta akan menemukan orang yang memberikan cinta yang sama, apa yang terjadi sekarang adalah jembatan untuk mengapai cintamu yang sebenarnya”. Entah apa ini sebuah angin surge cinta atau hanya pernyataan yang bohong belaka agar aku tak semakin hilang dan terpuruk dengan perasaanku.
“Pergilah, aku mohon. Aku tak mampu lagi merasakannya”. Tenaga ku seolah menguap bagaikan sebuah uapan air yang telah mencapai 100oc takkala dipanaskan, badan ku semakin lemah dan lelah, aliran darahku seakan terhenti bekerja, berganti menekanku sehingga semakin membuatku terpuruh menghilang tak sadarkan diri.
------------------------------------------------------------------
Entah sudah berapa lama aku berada disini, kali ini kembali aku membuka mata, namun tak seorangpun ada disekelilingku. Aku hanya menemukan alat-alat medis yang telah terpasang pada tubuhku. Kelelahan yang panjang membuat aku tak mampu mengerakan tubuhku sehingga hanya kepasrahanlah yang dapat aku rasakan berharap ada orang datang membantuku.
“Alin, ginama keadaan mu sayang”. Senyum itu terasa sangat indah, sosok mama sangat membantu setiap hal yang kulalui. Keberadaannya adalah sebuah anugrah yang sangat sempurna, perhatian dan pengorbananya membuat hidupku serasa indah.
“Lin, jadikan mama sebagai orang yang akan membuatmu tenang, dan biarkan mama merasakan setiap rasa sakit yang kau alami, agar mama dapat menjadi teman dan orang yang baik untukmu”. Mama seakan mengingatkan kembali akan apa yang telah aku lakukan, sebuah kebodohan yang aku nama sebuah kedamaian pada hal aku telah melakukan sebuah perbuatan yang sangat di kecam.
Setiap pelajaran yang aku terima, hal yang paling dilarang agama adalah bunuh diri, dan apa yang aku lakukan di pantai Amplena, yang berada di pigir kota mataram adalah perbuatan yang selama ini ditentang. Kepergian radit seolah menghilangkan semua orang dalam hidupku. Berlahan setiap suapan yang mama berikan membawa aku pada kesadaran bahwa ini kebodohan yang telah membawa aku berada di ruang yang dipehuni nuangsa warna putih, aromah obat yang tak terelakan terasa menyengat.
Aliran air mata mama, tetes demi tetesnya menyadarkan diriku. Aku melangkah seolah menlihat sebuah kehidupan baru telah menantiku, rasa asin air laut berubah rasa menjadi sebuah penawar rasa sakit yang aku alami, semakin dalam aku berjalan aku semakin merasakan kedamaian yang terasa hampa.
Langkahku tak perna berhenti karna keyakinanku, tiupan angin yang menyibakan rambutku kebelakan tak mengodaku untuk menoleh kebelakang untuk kembali menghadapi dunia. Langkahku bak seorang pemberani yang telah yakin bahwa ini adalah perbuatan yang paling benar sebagai penawar rasa sakitku. Langkah ini terus terasa ringan tak kala datang sebuah bisikan yang mengiurkan.
“Ini hal yang paling benar Alin, dengan ini kamu akan menhilang dari orang-orang yang akan memojokkanmu”. Kenyataan yang membenarkan apa yang telah aku rasakan.
“keputusan yang benar Alin, biar mereka merasakan sakit yang kamu rasakan dan menyakini bahwa kamu benar. Mereka akan menyalahkan radit, dan radit akan dapat merasakan setiap penderitaanmu. Ini adalah balasan yang setimpal atas perbuatannya pada kamu”. Ini adalah dukungan terindah yang perna aku dengarkan. selama ini mereka selalu menyalahkan diriku, seolah mempertahankan radit adalah perbuatan konyol yang telah dilakukan oleh seorang bernama Alin, dan kesalahan itu harus di disadarkan dengan membiarkan aku terpuruk, sendiri dengan rasa sedihku.
Semakin dalam aku berjalan, hanya suara angin dan air yang terdengar. Semua hilang, nafasku terasa sesak, pandangan ku tak dapat lagi menjangkau apapun hanya kegalau yang semakin mencekam yang aku rasakan.
Bayangan mama seolah semakin kuat datang, membangunkan ku dari kegelapan oleh ketepurukan perasaanku. Senyumnya seolah memberikan peringatan bahwa ini adalah hal yang salah, lebih salah dari keputusan ku untuk tidak meninggal radit pada saat mama menjodohkan aku dengan seorang laki-laki yang telah di jamin akan memberikan masa depan yang cemerlang dan kebahagian selamanya.
Namun setelah dia tersenyum, dia menangis seolah-olah ingin menjangkau ku. Kesedihan yang terpancar dari wajah mama membuat aku ingin menjangkaunya, memeluknya dan menangis di pundaknya, aku terus mencoba melangkah dan mencoba berlari, namun mama terasa sangat jauh. Sekuat tenaga aku melawan arus yang menghambatku untuk menjangkau mama tapi tetap saja mama terasa jauh. Hingga aku kehabisan tenaga untuk melawannya, dan membiarkan arus membawaku.
“Maafkan aku mam”. Aku terus terseret, semakin dalam, semakin jauh dari mama. Aku menangis berharap ada yang mampu menolongku, namun tangisan itu terasa percuma aliran semakin kuat membawaku pergi jauh hingga semuanya hilang berganti dengan kegelapan.
Dan sekarang aku berada di depan mama, menangis seolah aku tak ingin menghentikannya, menatap bening dan dalam dari kesejukan matanya. Aku tak dapat meluap rasa bahagia yang tak terbendung ini hanya dengan tangisan kucoba mengapai tangannya.
“Mam, biarkan Alin menjadi orang yang akan mama bangankan”. Kata itu terucap seolah menjadi sebuah harapan dan semangat baru bagi kehidupanku yang hampir ku akhiri dengan kebodohan dan kegelapan jiwaku memaknai setiap perputaran waktu yang melewati setiap ceritanya sendiri. Kehidupang yang mengalir dengan sendiri tak mampu di bendung dengan hanya sebuah pembenaran sebuah kejadian yang menjadi bagiannya.
“Mama akan selalu akan mendukungmu Alia, mam hanya ingikan yang terbaik untuk kamu, berdasarkan pemikiran mama. Namun mama sadar sekarang bahwa kamu juga dianugrahi hal yang sama oleh tuhan, punya pemikiran sendiri, tugas dan kewajiban mama hanya membimbing dan mengarahkan hidupmu bukan memaksakan kehendak”. Kami larut dalam perasaan yang campur aduk, semua rasa menjadi satu semakin melarutkan kami dalam perasaan saling sayang dan membutuhkan dukungan. Ini hidup yang inginku tinggalkan, kesempurnaan dengan luapan kasih sayang dengan cinta yang tulus.
“Maaf menggangu suasana”. Dia masuk dengan sebuah senyum, kegembiraan terlihat di pancaran wajahnya, indah dan menawannya wajah itu terbalut dengan sempurna oleh senyumnya semakin lama semakin lebar. Suasana ini seolah sebuah pertemuan kembali seorang teman yang telah lama menjauh, semakin dia mendekat senyum itu semakin membawa aku pada memori lama yang telah tertutup rapat.
“Adit, masuklah”. Mama menyuruhnya masuk, mama seolah sangat mengenalnya, setiap orang yang mama kenal selalu aku tahu. Tapi pada saat dia masuk ada sebuah perasaan yang lain aku rasa, rasa yang dapat ku mengerti.
“Alia. Ini Adit yang menolong kamu”. Aku teringat kembali, pada saat terakhir aku merasa putus asa, aku merasakan seseorang menarik tanganku, memelukku dan menerikan bahwa aku harus bertahan. Suara itu kembali teringat dalam kejadian itu.
“Terima kasih”. Kata itu keluar dengan kaku, kata itu terasa berat terucapkan, ada sesuatu yang menghabatnya sehingga terasa berat. Dia berdiri dengan membiarkan senyumnya terlihat dengan indah, ini sebuah perasaan yang terdalam yang seolah datang kembali dari sebuah masa lalu.
“Cepat sembuh, Alia”. Dia meninggalkan kami setalah seuntai bunga berada dalam gengamanku.
Kembali kelelahan menderaku sehingga aku kembali terlelap dalam tidurku, dalam tidur yang terasa lebih damai dari pada dalam sebuah ketesejukan air yang aku yakini akan membawaku pada kedamaian semu. Istrihat yang lama dirumah sakit membuatku kembali pulih, semangat yang di berikan oleh mama setiap dia berada disampinku membawah aku semakin percaya akan kehidupan yang akan ku jalani.
Seberat apapun sebuah masalah selalu bersama mama menjadi sebuah cerita yang bermakna dan bernilai sebuah pembelajaran kedewasaan, semua ini menjadi sebuah modal untuk kembali menata kehidupan di setiap perputaran waktu.
Pada waktu dimana semua kehidupanku mulai ku tata dengan mengikuti kebiasaan sehari-harinya sebelum kejadian itu, aku masih mendapat perhatian yang sangat besar dari orang-orang yang aku kira akan menyakiti diriku dengan pernyataan-pernyataan yang tak ingin aku dengar.
Siang yang panas selepas dari kegiatan rutin kuliah yang sangat melelahkan aku kembali berada dalam sebuah kamarnya kesayanganku. Kamar yang menyasikan setiap perubahan hidup dan mengetahui semua rahasia hidupku. Tidak ada yang istimewa dari kamar ini hanya saja semua yang ada didalamnya aku hafal dimana dan apa saja, menjadi sangat berbeda ketika seuntai mawar berada di atas tempat tidurku. Mama tak cukup romantic memberikan bunga mawar untuknya, begitu juga papa. Papa sangat kaku dalam hal keromatisan.
“Mam, bunga ini dari siapa”. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyum mengoda dari mama. Reaksi yang tidak sabar dari raut wajahku membuat mama tak tega membuat anaknya semakin penasaran.
“Orangnya lagi nunggu di taman belakang”. Ekpresi mama terlihat sangat aneh, wajahnya begitu berseri memancarkan kebahagia. Aku semakin penasaran siapa tamu ini yang membuat mama begitu sangat bahagia.
Pada saat aku berada di pingir pintu menuju taman belakan, kembali aku menemukan senyum indah yang begitu menawan yang perna aku dapatkan pada saat di rumah sakit. Kembali perasaan ku memberikan reaksi yang sama, kali ini perasaan ku semakin bergejolak.
“Hai Alia, sorry ganggu”. Aku hanya menberikan senyum seadanya untuk menjawabnya, perasaan kembali menekanku seolah tak mampu menbuka bibirku untuk menyambut sapaannya.
“Aku bukan orang baru di kehidupan mu Alia, jarak yang telah memisahkan kita”. Aku mencoba menatap wajahnya, apakah benar yang dia katakana. Kehidupan yang mana dihadir. Perputaran waktu yang mana yang telah mencatat kebersamaan kami.
Semakin dalam aku menatapnya, semakin aku kehilangan memori yang mana dia hadir. Hingga pada sebuah senyum itu kembali menghiasai wajahnya, aku melayang pada sebuah kisah yang sangat jauh telah terlampoi.
“Masa kita di SMA adalah masa sangat menyenangkan, walau kita berbeda kelas, aku sering melihat mu ketawa dan itu adalah sebuah keindah yang tak perna aku lupakan. Cerian yang terpacar dari wajahmu adalah sebuah energy yang luar biasa bagi semangat ku”. Panjang di menariku pada masa dimana sebuah kisah yang tak perna benar-benar aku ingat.
Kami berada di sebuah masa yang lalu dimana tidak ada pemahaman yang pasti untuk sebuah cinta yang berakhir pada titik cinta sejati. Perjalan cinta hanya sebuah rangkaian cerita yang terurai untuk melewati masa-masa remaja yang penuh dengan pencarian pedoman yang pas untuk menata kehidupan yang akan datang.
Dan kisah itu tak benar-benar hadir dari memoriku, karna kisah itu sangat singkat. Kepindahanya ke Jakarta mengikuti orang tua telah mengakhiri kisah cinta singkat kami, sakitnya tak terasa walau harus berpisah. Tanpa disadari dengan jelas oleh pikiranku, bahwa Adit adalah orang paling sangat baik. Kami selalu menghabiskan setiap waktu berdua di tepi pantai yang indah, setiap pantai di mataram kami coba datangi untuk mencari sebuah keindah yang membawa kami pada sebuah kedamaian
Dan dialah yang mengenalkan pantai Ampenan, setiap sabtu sore kami selalu melewati waktu disitu. Merasakan setiap hempasan angin yang menyejukan, menawanya keindahan laut yang selalui di penuhi nelayan. Tanpa kusadari setiap kali aku sedih selalu mendatanginya seolah, pantai itu akan memberiak kesembuhan dari setiap duka yang aku rasakan.
“Sejauh apapun aku pergi, yakinlah bahwa aku selalu ada untukmu disini”. Kata itu lah yang membuat kami akhirnya terpisah bertahun-tahun, aku tak mengerti mengapa dia terlupakan oleh aku, mungkin karna pada saat itu aku terlalu putus asa menunggunya sehingga rasa marahku menekan semua janji itu sehingga terlupakan.
Dan perubahan garis wajahnya sangat jauh dimana masa itu terjalin, kedewasaan telah membuat garis wajahnya semakin tegas memperlihatkan ketampanannya. Tubuhnya yang tumbu dengan tegap membuat posturnyapun berubah, perubahan yang sangat jauh dari bayanganku.
“Kenapa kamu berada disana, kamu menyelamatkan aku”. Dia kembali tersenyum, dan senyum itu telah membawa aku pada masa lalu, dimana senyum itu ternyata selalu melekat di pikiranku. Tidak ada perubahan dari senyum itu, dia hadir membawa pada sebuah perasaan yang sangat dalam, menembus dinding kekosongan yang tak dapat diungkapkan.
“Menepati janji untuk kamu”. Janji yang diungkapkan oleh seorang remaja yang masih labil, berartikan baginya. Semua tak masuk diakal, bagaimana janji yang diungkapkan itu begituh jauh mengantarnya kembali.
“Nda mungkin hanya karna janji itu, kamu jauh-jauh kesini”. Aku mencoba mencari jawaban akan keraguan yang aku ciptakan, dibalik semua itu memori indah kembali di benakku. Bagaimana kami melewati hari dengan sangat indah, saling mendukung, menyemangati dikala masa remaja itu membawa masalah bagi kehidupan kami.
Kedalamannya dalam memahami hidup diumur yang sangat muda, membuat dia sangat terlihat istimewa dengan waktu yang sangat singkat. Seolah kehidupan ini indah dikala kamu tahu apa yang mesti kamu yakini kebenarnya dan berusaha mencapainya.
“Aku sudah berada dalam sebuah tujuan yang pasti, bahwa kamu akan selalu aku inginkan untuk mengarungi setiap langkahku. Dan kamu pasti tahu bahwa hidup adalah sebuah tujuan, kamu adalah tujuan cintaku”.
“Itu harapan yang terlalu dini kamu berikan kepada orang baru kehilangan kepercayaan akan cintanya”.
“Aku akan selalu menunggu kamu, buktikanlah bahwa semua ini adalah keyakinan yang telah dibangun sejak kita memulai hubungan itu”.
“Itu sudah lama terjadi, aku pun telah membiarkan hatiku dimiliki oleh orang lain”.
“Aku tidak perna membiarkan itu pada hatiku, karna aku perna berjanji untuk kembali mencarimu”. Perubahan yang sangat tak wajar pada seluruh keyakinanku pada sebuah kebimbangan, semua menjadi berubah. Perubahan ini menakutkan tapi apa yang telah terjadi menyadarkan aku, bahwa akan terjadi sebuah hal, maka semua dayaku tak akan mampu ku lewatkan.
Adit mencoba menyakinkan keberadaannya disini bukan semua mimpi atau rasa kasihan dengan apa yang aku alami, tapi sebuah bentuk rasa cinta yang telah dia yakini. Logikan akan sebuah kebenaran dia coba ungkapkan untuk membenarkan keberadaanya di hadapanku.
“Maafkan aku Adit, kebaikanmu adalah tetesan embun di yang memberikan kehidupan yang kembali akan kekeringan hatiku oleh sebuah penghianatan cinta. Tapi semua ini terlalu indah dan aku takut, keindahan ini tak akan bertahan dengan kegalauan hatiku”. Aku meninggalkan dia, mencoba untuk menghindar dari sebuah sorotan mata dan kedamaian dari senyumnya. Karna semua itu mampu membuat hatiku terhanyut.
Waktu kembali berputar mengikuti lingkaran yang telah terbentuk sejak kehidupan ada, berlalu dengan kehidupan yang tak membawa perubahan bagi setiap langkahku. Membiarkan jiwa larut dalam sebuah keterpurukan untuk menghindar pada kenyataan cinta, adalah hal menyakitkan.
Aku terus bertahan untuk menolah kembalinya keyakinan bahwa cinta sejati itu ada untukku, adit adalah cinta itu yang memang datang pada perputaran waktu yang tepat. Titik-titk perasaan bergulir dengan cepatnya secepat detak jantung, mencoba berdamai untuk membiarkan hati kembali terbukan untuk adit namun sebagian jiwa menolak itu. Mencoba meresapinya dan membawa hati semakin dalam untuk merenung dan membiarkan masalah lalu teringat kembali agar muncul sebuah jawaban yang tepat untuk mengakhiri segala gejola. Semakin lama itu terjadi membawa aku terlelap pada tidurku.
“Apa yang kau cari, Alia? Biarkan dia hadir karna seharusnya dia hadir, getaran dan gelombang ini tak akan mampu kau bendung untuk kau hindari”. Kehadirannya sama seperti di hadir dalam mimpiku pada waktu di rumah sakit.
“Kenapa kau datang dengan nada yang sama untuk aku”. Aku tak akan membiarkannya pergi dengan hanya mengungkapkan semua pernyataan yang tak berujung tetang kehidupan cintaku.
“Kenapa kamu yakin aku akan mempercayai setiap ucapanmu sedang aku sama Sekali tidak menengenalmu”. Aku berusaha membiarkan dirinya terpojok oleh pertayaan, agar dia mau mengungkapkan dirinya, kenapa selama ini hadir dikala aku selalu dalam keadaan terjebak oleh pertanyaan yang tak dapat aku jawab dengan logika.
Semua berada pada sebuah kebimbangan yang sangat tak menentu, kegalauan yang membuat hati dan pikiran saling memberikan argument yang membinggungkan. Pergelutan sengit membawa pada titik pembentukan jiwa yang semakin kalut untuk menentukan sebuah pilihan dalam kehidupan.
Waktu berlalu dan kembali dalam keadaan terpuruk dengan kebimbangan yang sangat menguras semua emosi, kehadiran dari sebuah pernyataan yang mengarah pada sebuah penolakan dari perasaan sangat menyakitkan karna harus kita lawan semua pergolakan perasaan yang mencuat didiri dan mengembangakan perasaan yang dalam keadaan terjepit di dasar perasaan yang paling dalam.
“Adit adalah jawaban dari semua hal yang kau yakini, bahwa perasaan cinta yang kamu jaga selama ini bukan buat radit tapi buat orang yang sama dengan kamu, sama mau menjaga hatinya untuk seseorang bidari yang dia yakini akan memberikan cinta yang sama dengan dirinya”. Aku menatapnya dengan sangat tajam agar menyakini semua ini berasal dari seseorang, namun seperti biasanya dia selalu membelakangiku dan tidak membiarkan wajahnya terlihat olehku, sedang aku tidak mampu mengarahkan tubuh untuk mendekatinya.
“Adit masa lalu yang telah berakhir, bagaimana aku bisa menyakini bahwa dialah cinta sejatiku. Karna kami tidak perna bertemu setelah dia meninggalkan aku”. Aku tetap memberikan kesempatan perasaan untuk mengungkapkan kebenaran bahwa sebenarnya perasaan itu ada buat adit. Perasaan itu muncul untuk mulai tumbuh ketika sebuah senyum itu terlihat pertama kali di rumah sakit, kilatan rasa itu berkembang terus.
“Aku tau perasaanmu mulai ada untuk adit, kamu harus membiarkan dia mengetahui agar kepergiaannya tidak kau sesali. Karna sejauh apapun kau mencoba membunuhnya dengan logikan tak beralasan kuat, perasaan itu tidak malah akan membuat kamu semakin sakit”. Aku mencoba berpikir sejenak untuk member jawaban untuk pernyataannya, ketika jawaban itu ada dia hilang dan aku tak menemukannya walau aku berusaha berteriah dan berharap dia kembali.
“Alin, bangun sayang”. Guncangan tiba-tiba aku rasakan, sehingga tersadar. Wajah cemas itu bermakna seribu pertanyaan dari mama. Dan kecemasan itu hanya dapatku jawab dengan sebuah senyum yang aku yakini akan memberikan jawaban untuk mama, walau semua itu tidak terungkap dengan sebuah kata.
Hanparan kebimbangan tetap saja membuat aku tak mampu membuat keputusan yang akan aku berikan pada adit ketikan akhirnya dia memcoba mengungkapkan bahwa aku harus member jawaban untuknya sebelum akhirnya dia pergi untuk selamanya dan tak akan kembali untuk mencari cinta yang selama ini dia yakini bahwa dengan akulah cinta itu berlabu.
“Aku mengajak kamu kesini bukan untuk membuka kenangan manis atau pahit yang telah kau lalui di laut ini, tapi aku sangat berharap bahwa keberadaan kita disini akan membuat kamu menyakini bahwa aku akan menjadi orang yang akan kamu andalkan dalam keadaan apapun dirimu. Bahwa aku adalah sebuah tujuan akhir dari cintamu, dan kita arungi bahtera pembelajar aliran cinta kita dalam perputaran hidup kita di awali dari titik pinggir pantai Ampenan ini”. Pernyataan adit tentang awal yang akan kami lalui memberikan sebuah kesejukan dari dahaga kebimbanga yang selama ini aku alami. Dan keberadaan kami disini merupakan proses yang tidak mudah untukku menyetujui pertemuan ini.
Dorongan dari dasar hati yang paling dalamlah yang harus aku dengan agar menyetujui keingin adit untuk bertemu, untuk melepas kepergiaanya. Berat namun ini adalah sebuah bentuk keajaiban hati yang tak mampu di pikirkan oleh aliran otak. Langkah demi langkah ku biarkan agar hatiku merasa dapat bernafas lebih lega, kegelisan tetap saja terlihat dari wajahku walau aku sudah coba untuk membiarkan keyakinan itu adalah sebuah kebenaran yang harus aku biarkan terjadi.
“Adit, hatiku masih memberikan sebuah rasa nyeri yang tak mampu ku sembuhkan dengan waktu singkat. Kebeadaan dan kebenaran hati yang tertanam amat dalam telah dapat aku rasakan untuk kamu, tapi belum mampu memulihkan rasa sakit itu”. Kejujuran itulah yang dapat mendamaikan pergulatan keyakinan antara pikiran dan hatiku.
“Aku berharap tidak banyak dari dirimu Alia, aku hanya berharap kamu mau membuka kembali hatimu untuk mencoba menyakinkan dirimu bahwa cintamu adalah untuk diriku. Berawal dari itulah akan kita bina hati kita untuk dapat menyatukan aurah dan jiwa kita”. Dan pelukan itu membuatku semakin lega seakan aku dapat bernafas dengan sangat nikmat, hembusan angin itu menambah keyakinanku untuk mau mencoba membuka babak baru hidupku untuk Adit……………………………………………………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar