08 Februari, 2010

IBU TERBAIK SEDUNIA

Berhamburan, berantakan, bertebaran, seluruh isi kamar. Lupan emosi itu datang, dan kamarnyalah tempat yang selalu membuatnya nyaman. Istana kecil yang dikelilingi oleh dinding berwarna biru yang menjadi warna favorit.
Tatanan seluruh barang dilakukan berdasarkan keseimbangan dan keluesan dia bergerak, menari, dan membiarkan emosinya meluap dengan berbagai rasa. Boneka beruang yang menjadi teman sejati sejak SD selalu ada disetiap sudut, pancarannya warna pink menjadikan semakin menarik.
“Mir, buka pintu”. Kerasnya suara gedoran pintu tak membuat dia terbangun dari tempat tidur setelah semua barang yang dikamar diberantakin. Berulang kali suara itu datang tak sedikitpun ada isyarat bahwa dia mau menanggapinya.
“Bu, biarkan Mira istirahat”.
“Dia datang sambil nangis Pa”.
“Biarkan dia sendiri dulu bu, mungkin dia hanya kelelahan”.
Perdebatan orang tuanya terus berlanjut, hingga akhirnya dia keluar lalu memeluk ibunya. Belaian halus dari ibunya jauh lebih memberikan sebuah perasaan damai ketimbang seluruh kamarnya diacak hingga bagaikan kapal pecah.
Diiringi belaian lembut pada rambut lurus panjang terurai, ibunya membawa kembali kekamar. Langkahnya harus pelan dan terarah dengan baik, hampir seluruh benda berada dilantai sehingga menghalangi setiap langkah yang mereka lakukan.
“Ibu adalah teman sejati selain boneka beruangmu, biarkan air matamu selalu berlinang dipangkuan ibu”.
“Damar bu, dia selingkuh dengan serli”.
“Serli teman baikmu, kamu mungkin hanya salah paham”.
“Aku melihat mereka berdua dicafe, mesra bangat bu. Sikap mereka menunjukan sebuah hubungan sangat intim”.
Dia terus bercerita bagaimana hubungannya dengan Serli, Damar, keterbatasan waktu yang dia miliki untuk menemui Damar menjadi sebuah alasan mengapa hubungan mereka dalam keadaan yang tidak harmonis. Cerita itu mengalir dengan derasnya, namun hanya tangapan singkat dan belaian yang mampu ibunya lakukan. Hingga akhirnya diapun tertidur dengan sangai tenang, napasnya yang teratur dengan irama kelembutan menandakan bahwa batinya dalam keadaan tenang.
Disisi lain Marni yang merupakan ibunya Mira hanya tersenyum tipis, dia tidak merasa anak yang selama ini dijaga, dia didik dengan penuh ketulusan telah tumbuh menjadi dewasa. Apa yang dilakukannya selama ini untuk Mira dan suaminya mampu memberikan kebahagiaan.
“Gimana keadaan Mira bu”.
“Dia sudah tidur, Papa benar dia hanya kelelahan”. Tanpa senyum tipis dari suaminya terlihat jelas dari wajahnya ketika mereka mengobrol diruang tengah setelah dia mampu membuat Mira tertidur.
Seberat apapun kesulitan yang silih berganti datang dalam kehidupan rumah tanggannya, selalu mampu dia hadapi. Kebesaran hati dan senyum manis serta sikap manja dari Mira mampu menjadi obat mujarat sehingga hatinya mampu dia tata kembali untuk membawanya tersenyum.
Ketika pagi datang, hal yang utama dia lakukan adalah bersyukur dengan sujud. Setelah itu segala kebutuhan suami dan anaknya dia siapkan, tak ada rasa lelah dan bosan yang dirasakan ketika hal itu harus berulang setiap harinya.
“Pagi sayang, tersenyumlah walau hatimu sedang sakit. Membiarkan wajahmu olah raga agar darah yang mengalir diotakmu mampu memberikan rasa bahagia”. Belaian lembut dan kecupan manis dia rangkai dengan kata yang dia anggap akan memberikan energy positif bagi Mira.
“Mira beruntuk memiliki ibu yang paling baik sedunia”. Pujian itu datang diiringi dengan sebuah senyum tipis dari bibir anaknya, jantungnya berdetak lembut, aliran darah mengalir lembut, semua itu memberikan rongga untuk dia merasakan sebuah perasaan bahagia.
Kegelisanya terobati ketika melihat perkembangan Mira, setelah beberapa hari dia melihat anaknya tanpak bahagia. Ada sebuah isyarat yang sangat kuat dari bahasa tubuh Mira, sebuah tanda bahwa masalahnya telah selesai. Walau dia merasa sangat dekat dengan Mira, dia mampu membatasasi diri untuk tidak membuat setiap sikap dan pertanyaan tidak berlebihan agar anaknya merasa nyaman.
“Mir, kamu sekarang sudah dewasa. Papa ingin kamu menikah, menurut papa pasangan yang cocok untuk kamu adalah Sandi”. Dia tersetak dan kaget dengan pernyataan suaminya, secepat itu juga dia menakap sebuah kepanikan pada wajah anaknya. Selama ini dia tidak perna membahas setiap kehidupan asmara Mira pada suaminya.
Kesibukan dan kelelahan suaminya membuat dia tidak tega menambah satu masalah lagi, menurutnya kehidupan asmara Mira tidak menjadi sebuah masalah yang akan memberikan danpak jauh bagi kehidupan keluargannya.
“Mira ingi kerja dengan baik dulu pa, baru menikah”.
“Kerja dan menikah adalah sebuah irama yang akan berjalan dengan beriringa”. Dia mendengar ucapa suaminya keluar dengan lembut, namun kandungan yang terpancar adalah sebuah ketegasan yang tak mudah dibantah.
“Mira baru saja kerja pa, butuh konsentrasi untuk menjalankannya”.
“Papa sudah bilang dari dulu, sebaiknya kamu kerja di perusahaan kita. Papa menyekolahkan mu tinggi-tinggi untuk melanjutkan usaha papa”.
Dia belum mampu menemukan cela yang baik untuk memberikan sebuah pandagan, kebinggungan harus berpihak pada siapa menjadikan mulutnya semakin membukam. Kebinggungan yang mengarah pada sebuah keresahan yang terlihat diwajah anaknyapun belum mampu untuknya memilih.
Kegundahan kembali dirasakan oleh Mita, dia berharap akan mendapatkan pertolongan dari ibunya. Keberpihakan ibunya sangat penting, karna begitu terbukannya dia sama ibunya sehingga semua hal yang dihadapinya selalu dia ceritakan.
Kenyataan yang harus dia terima adalah melihat ibunya terdiam tanpa satu katapun terucap. Hingga berakhirnya makan malam itu pembelaan yang diharapkanya tak kunjung datang. Kembali dalam sebuah kamar yang selalu mampu membawa perubahan dalam jiwanya, walau tak banyak tapi setidaknya ada sebuah dinding yang mampu dia andalkan untuk tetap menjadi orang yang sadar akan sebuah kehidupan yang pasti harus melalui masalah demi masalah.
“Jangan biarkan wajah kusutmu itu ketauan ama bos, bisa-bisa kamu malah akan memdapat kerjaan jauh lebih banyak”.
“Kata dia, dengan bekerja kalian akan dapat melupakan masalah yang nda penting selain urusan kantor”. Dara seolah mengingatkan dia akan sebuah kebiasaan yang selalu diterima karyawan dikantornya jika ketahuan bos memikirkan urusan lain selain urusan kantor.
Pagi itu dia berangkat dengan kesal, dia melewatkan rutinitas pagi yang biasa dilakukan dengan orantuanya. Sikap ini seolah member isyarat akan sebuah kemarahan akan keputusan sepihak dari papa dan kecewa akan sikap ibunya.
“Aku tahu”. Cukup singkat dia menanggapi pernyataan Dara. Dara memiliki posisi yang istimewa dikehidupan Mira, bersahabat sejak SMA, berlanjut kuliah bareng hingga akhirnya berada dalam satu ruangan di kantor.
Tak satupun masalah dia yang tidak Dara tahu sejak SMA, kehidupan pribadi yang dimulai dari bagaimana kehidupan dia dengan orangtuanya hingga kehidupan asmara tak perna terlewatkan oleh Dara. Persahabatan itu terasa sangat manis, mereka melewati setiap masalah dengan saling mendukung.
“Papa menjodohkan aku dengan anak sahabatnya”. Akhirnya dia dapat dengan leluasa curhat dengan Dara ketika jam istirahan. Sikap ibu yang tidak memberiak respon apapun hingga terbentuk perasaan kecewa dalam dirinya, dia ungkapkan.
“Ada pertimbangan yang belum siap ibumu ucapkan, dia mungkin masih memikirkan cara yang terbaik agar tidak melukai kamu dan papamu”.
“Setidaknya ibu mencoba mengatakan bagaimana keadaan hatiku saat ini, karna ibu tahu bagaimana keadaanku”.
“Seperti kenbanyakan orangtua, mereka selalu mengatakan bahwa apapun yang mereka lakukan adalah untuk kebaikan anaknya. Agak basih sih kedengarannya, namun terkadang itu menjadi sebuah kebenaran”.
“Maksudmu aku terima perjodohan itu, nda mungkin membuka hatiku sekarang. Masih sakit, perbuatan Damar masih memberikan bekas luka yang dalam”.
“Mungkin ibumu berharap dengan perjodohan ini memberikan sebuah harapan untuk kesembuhan luka hati yang kau alami sekarang”. Dia tidak berharap Dara menunjukan sebuah pembenaran atas perbuatan orangtuanya.
Waktu yang memisahkan mereka dari perbedaan pendapat yang belum menemukan titik kesepahaman dari sekian argument yang mereka ungkapkan. Namun rasa kecewa harus kembali dia rasakan setelah ibunya kini sahabatnya pun tak memberikan angin segar untuk mendukungnya.
Sepanjang hari yang melelahkan itu, terlewatkan dengan setupuk pekerjaan yang harus segera selesai. Walau hati terasa sangat panas dan kalut, tidak ada pilihan lain yang mampu dia ambil kecuali menuruti perintah untuk segera menyelesaikan pekerjaan.
Menghindar dan memending pekerjaan bukan obsi terbaik, karna sedikit saja dia ketahuan melakukan itu maka posisinya bakal terancam hingga sebuah pemecatan mungkin saja akan dia alami. Ketika hal itu terjadi, akan semakin susah dia menghindar dari tawaran papanya bergabung diperusahaannya.
“Mir, Sandi menunggumu”. Kelelahan yang diisyaratkan oleh gerak tubuhnya lemas tak bertenaga, tidak mampu menarik perhatian ibunya untuk menolongnya terbebas dari tamu yang sudah lama terlupakan ini.
“Mira, lelah sekali bu. Sudah dua minggu ini pekerjaan sangat menumpuk”.
“Kasihan Sandi dong sayang, dia udah jauh-jauh dari Bandung masa kamu cuekin begitu saja”. Tubuhnya lunglai ditopang oleh pintu kamarnya, rasa lelah itu telah membuat dia kehilangan energy untuk berargumen panjang dengan ibunya.
“Malam Mir, apa kabar”. Sandi menyapa dengan wajah ceria diserta sebuah senyum terlihat manis bila diperhatikan dengan dalam, namun apa yang mampu dilakukan oleh jiwah yang lelah. Semua menjadi hampa, berganti dengan perasa yang lebih mengarah pada emosi.
“Kamu terliat sangat letih, aku hanya ingin berpamitan pulang”. Ada sebuah perasaan senang ketika akhirnya terbebas dari pertemua yang tidak diharapkan itu. Dengan agukan seadanya dia membiarkan Sandi pulang.
Marni hanya mampu melihat dengan hati yang lirih setiap langkah Mira, sejak peristiwa makan malam itu. Seolah telah tercipta jarak antara dia dengan anaknya. Ketakberdayaannya akan keputusan yang telah suaminya ambil, seolah membuat dia merasa menghianati kepercayaan anak satu-satunya itu.
“Sandi ko ditinggal Mir”.
“Dia udah pulang bu”. Dibiarkan anaknya melangkah terus setelah dia mendengarkan bahwa Sandi telah pulang, sebenarnya tak tega membiarkan Mira menerima tamu dikala terlihat sangat letih. Namun kekecewaan Sandi tak mampu dia lihat, karna semua ini adalah perintah dari suami.
Selang beberapa hari setelah peristiwa kedatangan Sandi, dan melihat sikap Mira yang mulai kelihatan santai. Dia mengambil sebuah keputusan berat untuk menghadapi langsung anaknya, menjelaskan semua yang dia rasakan.
“Ibu bukanlah seorang manusia sempurna yang mampu menjadi selalu yang terbaik”. Dengan langkah pasti dia mendekati anaknya yang terbaring dikamar, yang pada awalnya anaknya membiarkan dia masuk ketika pintu itu terbuka.
“Selama ini ibu tak perna menceritakan tentan kehidupan asmaramu pada papa, ibu hanya merasa bahwa kehidupan asmaramu adalah sebuah kisah yang hanya seorang ibu yang boleh tahu”.
“Ibu mengira selama ini, papamu tak perduli dengan urusan asmaramu. Hanya keseriusan mengurus perusahaan yang membuat ibu tak mau melibatkannya”. Tangannya tak perna lepas untuk membelai rambut anaknya, setiap usapan itu seakan memberikan isyarat penyesalan yang sangat mendalam dari seorang ibu pada anaknya.
“Maafkan ibu, sikap yang ibu tunjukan selama ini, adalah sebuah kebimbangan yang belum mampu ibu temukan jawaban. Keberpihakan yang mana yang semestinya ibu lakukan”. Walau tak mendapatkan tanggapan apapun dari anaknya dia terus mengunggapkan isi hatinya, seolah tak mampu lagi bendung.
“ibu berharap kamu mau sedikit membuka hatimu pada Sandi, setelah itu ibu akan mendukungmu. Ibu akan siap dengan keputusan apapun yang akan kau ambil”.
“Kehadiran Sandi setidaknya mampu membuat kamu lupa akan Damar”.
“Ibu akan tetap menjadi yang terbaik buat Mira”. Pelukan dari anaknya seakan menjadi sebuah selimut yang mampu memberikan kehangatan yang membebaskan dirinya dari perasaan bersalah dan dinginnya dinding-dinding kebekuan hati yang telah dia rasakan selama ini.
Keputusan Mira untuk mencoba membiarkan dirinya mengenal Sandi mengantarkan sebuah hubungan yang kembali membaik dengan anaknya. Salah satu kebahagian seorang ibu adalah ketika senyum yang hilang itu kembali mewarna hari-harinya………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar